Sunday, 12 December 2010

Derby di Milano

Sebagai penggemar sepakbola dan pendukung Manchester United saya tidak hanya menonton pertandingan tim yang saya dukung tetapi juga mencari pertandingan seru yang bisa dinikmati, anda akan mengerti apa yang saya maksud dengan "pertandingan yang bisa dinikmati" saat anda bisa menikmati pertandingan bukan hanya saat mendukung tim favorit anda tetapi bagaimana anda bisa menjadi penonton yang netral dan menilai cara bermain kedua tim yang sedang bertanding tersebut. Menurut saya saat yang menyenangkan untuk menjadi penonton netral salah satunya dengan menyaksikan pertandingan derby.

Pertandingan derby merupakan pertandingan antar tim yang berasal dari kota yang sama. Pertandingan derby biasanya memiliki aura pertandingan yang berbeda dengan aura pertandingan antar klub besar untuk memenangi trophi juara. Pertandingan yang sarat emosi bukan karena prestasi yang diperebutkan tetapi lebih karena gengsi untuk membuktikan kepada bagian lain dari kota tersebut bahwa merekalah yang lebih baik. Dalam derby kesempatan menang terbuka bagi kedua tim terlepas dari performa mereka pada saat itu, seperti pada Derby della Capitale (07 November 2010) dimana A.S. Roma berjuang seperti tim pesakitan untuk menempati posisi medioker dan Lazio berada di papan atas. Diatas kertas seharusnya Lazio yang sedang on-form dapat menang mudah tetapi aura derby seperti yang saya katakan memiliki aura yang berbeda dan semua data pertandingan belum tentu bisa memprediksi hasil akhir. Malam itu kenyataannya Boriello dan Vucinic menjadi pahlawan bagi tiffossi Il Lupi. 2 - 0 untuk A.S. roma. Saya bukan tiffossi Serie A tetapi justru karena itulah saya bisa dengan tenangnya menonton derby Serie A apakah itu sebagai fans Roma, Lazio, Inter, Milan atau klub lain. Mungkin anda dengan mudahnya mengatakan saya glory hunter, itu hak anda untuk berpendapat tetapi yang saya lakukan bukanlah mendukung tim pemenang toh seperti yang saya katakan diatas bahwa saya dalam tahapan dimana saya bisa menikmati pertandingan bahkan jika pertandingan itu bukan pertandingan tim yang saya dukung. Jika pada akhirnya tim yang saya jagokan selalu menang ya mau bagaimana lagi :p (menjagokan dan mendukung itu punya arti yang beda loh menurut saya).

Merah - Biru kota Milan
Derby yang ingin saya tulis kali ini dikenal dengan nama derby della Madonnina atau juga sebagai derby Milan. Derby antara kedua tim besar dari Italia, F.C. Intermilan (18 scudetto) dan A.C. Milan (17 scudetto). Saya pernah menyaksikan derby ini sebagai Interisti ataupun Milanisti, harus saya akui Milanisti lebih "gila". Baru pertama kalinya saya nonbar dan lihat ada suporter kafe yang membawa toa adalah saat saya nonbar bersama Milanisti Bandung. Chanting dengan bahasa Italia juga memberikan rasa tersendiri ditambah dengan hiasan bendera Milan yang besarnya menyaingi layar proyektor. Selain itu saya kira sama, baik Interisti atau Milanisti sama - sama rusuh, mungkin khusus untuk kata rusuh memang mendarah daging untuk semua suporter Indonesia.

Asal kata Madonnina merupakan panggilan masyarakat setempat untuk patung Virgin Mary yang berada di puncak Katedral Milan, salah satu trademark untuk kota Milan. Bagi warga Milan tempat tersebut merupakan tempat yang sakral dari segi rohani dan seperti yang kita ketahui dimana sepakbola menjadi sebuah "kepercayaan" di negeri Italia maka tidak berlebihan jika memberi nama derby ini della Madonnina, derby yang secara etimologis menganalogikan bahwa siapapun yang memenangkan derby tersebut menandakan merekalah yang berada di puncak kota Milan.

Untuk mereka yang belum akrab dengan sepakbola jangan bingung mengenai tempat dilangsungkannya derby della Madonnina karena memang A.C. Milan dan Intermilan menggunakan stadion yang sama namun dengan nama yang berbeda. Bagi suporter Intermilan stadion ini diberi nama Guiseppe Meazza untuk menghormati jasa mantan pemainnya, hal ini juga yang membuat suporter A.C. Milan enggan menyebut stadion tersebut dengan nama yang sama mengingat nama itu adalah mantan pemain Intermilan sehingga kemudian memberi nama San Siro. Saat dilangsungkan derby para suporter membagi diri mereka menjadi dua bagian, yaitu curva nord (inter/utara) dan curva sud (milan/selatan).



Sejarah Awal
Cerita tentang lahirnya persaingan antara kedua klub ini bermula pada tanggal 16 Desember 1899 dimana waktu itu hanya ada Klub Kriket dan Sepakbola Milan yang didirikan oleh Alfred Edwards. Saat itu Alfred Edwards menjadi presiden dari Klub Kriket dan Sepakbola Milan. Dibantu oleh Herbert Kilpin yang menjadi kapten klub sepakbola. Tim tersebut kemudian memenangkan liga nasional pada tahun 1901, 1906 dan 1907. Di tanggal 9 Maret 1908, perselisihan mengenai dominasi pemain Italia dan Inggris di klub A.C. Milan menyebabkan sekumpulan orang - orang Italia dan Swiss memecahkan diri dari A.C. Milan untuk membentuk klubnya sendiri. Nama Internazionale diambil karena pendirinya ingin membuat satu klub yang terdiri dari banyak pemain dari negara - negara luar. Pada era itu, Inter identik dengan kaum borjuis sedangkan Milan dengan kelas pekerjanya. Ternyata selain berbeda visi, suporter kedua tim juga memiliki perbedaan stratifikasi sosial yang menjadi alasan mengapa persaingan kedua klub kota Milan ini begitu "panas".
Era Mazzola dan Rivera
Pada era 60an derby Milan diwakili oleh dua nama besar pemain timnas Italia, yaitu Sandro Mazzola di kubu Inter milan dan Gianni Rivera di kubu A.C. Milan. Persaingan kedua pemain ini berimbas juga kepada rivalitas kedua tim yang saat itu saling bergantian merebut Piala Eropa. Persaingan kedua pemain juga berlanjut di dalam timnas Italia dimana mereka berdua jarang dimainkan pada saat yang bersamaan.
Era Trio Belanda dan Jerman
Memasuki era akhir 80an hingga awal 90an A.C. Milan diwakili oleh Trio Belanda (Van Basten, Rijjkard dan Gullit) melawan Intermilan yang diwakili oleh Trio Jerman (Brehme, Klinsmann dan Mattheus). Pada era ini bisa dikatakan A.C. Milan berada di masa keemasannya, bahkan saat era kepelatihan Fabio Capello mereka diberi julukan invicibli karena tidak terkalahkan untuk 59 pertandingan. Tetapi pada Piala Dunia 1990, San Siro menjadi tempat partai puncak Piala Dunia yang mempertemukan Belanda dan Jerman. Bagi banyak orang pertemuan antara Belanda dan Jerman ini seperti derby Milan versi tim nasional. Akhirnya kita tahu bahwa Jerman menjadi juara dengan skor 2 - 1 dan memberikan "kemenangan moral" bagi tiffossi Inter.


Era Kini
Kasus Calciopoli pada tahun 2006 yang melibatkan Juventus F.C., A.C. Milan, A.S. Roma, S.S. Lazio dan A.C.F. Fiorentina merubah peta kekuatan Serie A secara drastis. Juventus yang kala itu begitu berkuasa dijatuhi hukuman dengan pencabutan gelar scudetto tahun 2004/2005 dan gelar scudetto 2005/2006 diberikan kepada Intermilan sekaligus mengakhiri puasa gelar mereka selama 17 tahun. Setelah itu tidak ada yang bisa menahan kedigdayaan Intermilan di bawah kepemimpinan presiden mereka, Massimo Moratti. Roberto Mancini yang ditunjuk sebagai manager berhasil membawa gelar scudetto 2006/2007, 2007/2008. Walau juara ternyata Moratti tidak puas dengan prestasi di tanah Eropa, Moratti kemudian menunjuk Mourinho menggantikan Mancini dan puncaknya pada musim 2009/2010 dimana Intermilan menjadi tim Italia pertama yang berhasil meraih treble winners. Pada era ini Intermilan juga akhirnya berhasil melampaui perolehan scudetto A.C. Milan untuk pertama kalinya sejak 1992/1993 saat A.C. Milan berhasil menyamai perolehan 13 kali scudetto Inter. Hingga saat blog ini ditulis A.C. Milan menempati urutan pertama di klasemen sementara Serie A dan Intermilan terperosok di posisi 6. Apakah ini akan menjadi titik balik pencapaian Intermilan dibawah kepimpinan Massimo Moratti ? Sejauh Serie A berjalan sampai bulan Desember ini hal itu mungkin saja terjadi.

Film :






Sumber :
F.C. Internazionale Milano S.p.A
Associazione Calcio Milan 1899 S.p.A
Derby della Madonnina


Post sebelumnya:
http://degradablethoughts.blogspot.com/2010/12/derby-di-milano.html

Friday, 15 October 2010

Hooligan, Lebih Dari Sekedar Penonton


Lanjutan kualifikasi Piala Eropa 2012. Italia kontra Serbia. Belum juga pertandingan dimulai terjadi kericuhan dari bangku penonton, terlihat seorang ultras yang menggunakan penutup kepala berwarna hitam memanjat pagar pembatas pagar antara bangku penonton dengan lapangan. Ada juga sebagian membakar bendera. Ada pula yang melempar kembang api ke dalam lapangan. Hasilnya pertandingan dihentikan karena dianggap tidak aman. Tidak lama salah satu ultras itu dapat diamankan dan kemudian diidentifikasi. Namanya Ivan Bogdanov, seorang ultras Serbia dan Red Star Belgrade. Setelah dikonfirmasi dia mengatakan alasannya melakukan tindakan anarkis di dalam stadion dikarenakan dirinya kecewa dengan performa timnas. Seperti itulah pada umumnya sifat ultras atau lebih dikenal dunia dengan hooligan, anarkis. Apakah tindakan anarkisnya tanpa alasan ? tergantung perspektif anda. Jika anda menanyakannya kepada saya tentu saya akan bilang tidak. Karena itu caranya menunjukkan kecintaannya terhadap negara dan tim nasional sepakbola Serbia. Setiap orang bebas untuk mengekspresikan rasa cintanya dengan beribu - ribu cara dan salah satunya adalah anarkis.
Ivan Bogdanov

Mengapa orang - orang ini nekat melakukan tindakan melanggar hukum di negara asing ? Tentu mereka jauh dari kata kebal hukum tetapi kita juga tidak kalah seringnya mendengar sepak terjang mereka baik di dalam atau di luar stadion. Jawabannya bisa saja beragam dan memang lagi - lagi hal yang berhubungan dengan cinta sering kali tidak logis--sebentar, sebelum saya melanjutkan tentunya kita tidak membicarakan kata "cinta" romantis seperti yang kita lihat di ftv tetapi "cinta" dengan arti fanatik dan rela berkorban demi sesuatu yang dibela mati - matian oleh individu tersebut :)--dan bagi saya tindakan mereka pantas diacungi jempol. Bukan karena saya mendukung tindakan pengrusakan tetapi karena setidaknya para hooligan ini berani mengambil sikap atas kekecewaan mereka. Mereka berani hidup dengan prinsip mereka dan tidak terpengaruh oleh pendapat orang lain, hal inilah yang sanggup mendorong mereka untuk melakukan tindakan - tindakan seperti dalam laga Italia vs Serbia tersebut.

Untuk itu tidak ada salahnya jika kita membahas sedikit tentang hooligan. Siapa mereka ? Umumnya mereka adalah suporter sepakbola yang datang dari kelas pekerja dan merupakan jenis suporter dalam dunia sepakbola yang paling loyal dibandingkan jenis suporter yang lain. Meskipun secara penampilan mereka tidak berbeda dengan suporter biasa tetapi tingkatan fanatisme mereka berada jauh di atas penonton sepakbola biasa. Mereka menyanyikan chants, mengibarkan bendera, memprovokasi lawan dan terkadang bertindak vandalis. Mungkin terdengar lucu jika sekumpulan orang dengan badan besar dan beraksesoris sepakbola lengkap berjalan dalam sebuah grup dan bernyanyi - nyanyi tetapi semua anggapan lucu itu akan hilang jika anda terjebak masalah dengan hooligan. Sudah banyak contoh perkelahian dalam skala besar yang terjadi antar hooligan dan ada juga sebagian film yang mencoba menggambarkan bagaimana kehidupan seorang hooligan, seperti: The Firm, The Football Factory, Green Street Hooligans dan masih banyak lagi.

Salah satu scene dalam "The Firm"

Selain menyaksikan pertandingan langsung dari stadion, banyak dari hooligan yang memilih bar sebagai tempat alternatif, tentu ditemani makanan kecil dan bir. Bir selalu menjadi perekat yang mengumpulkan berbagai macam penggemar sepakbola. Saat tim mereka menang, mereka merayakannya dengan bir. Bir juga bisa untuk menghibur saat tim mereka kalah. Jangan heran jika hooligan selalu akrab dengan kata vandalisme. Bagaimana bisa mereka berpikir dengan akal sehatnya jika bir selalu menemaninya selama matchday berlangsung.

Hooligan biasanya tidak mengekspos diri mereka kepada media dan mereka juga tidak selalu bertindak anarkis selama satu musim liga berlangsung. Ada saat - saat tertentu dimana aura pertandingan panas akibat rivalitas kedua tim, pertandingan derby atau event besar turnamen antar negara seperti World Cup, atau saat Europa League dan Champions League. Pada saat seperti inilah hooligan biasanya menampakkan diri mereka di depan publik. Tidak perlu memperhatikan secara khusus untuk tahu suporter akan menjadi lebih beringas pada pertandingan seperti Ajax vs Feyenoord, Inter vs Milan, Celtics vs Rangers, Roma vs Lazio, Liverpool vs Everton, Boca Juniors vs Riverplate . Begitu juga di level Internasional saat Inggris bertemu dengan Jerman. Selalu ada sisi historis di luar lapangan hijau itu sendiri yang membuat suporter kedua tim siap membela timnya masing - masing sampai titik darah penghabisan bahkan jika itu berarti di luar stadion.

Suasana pertandingan antara West Ham vs Millwall

Memang tidak semua negara mempunyai suporter seperti hooligan. Hanya di negara dengan pemahaman bahwa sepakbola bisa dikatakan setara dengan agama kita akan menemukan suporter sejati seperti hooligan. Dimana mereka memilih klub yang mereka dukung seperti mereka memilih kepercayaan yang mereka yakini. Bagaimana dengan Indonesia ? Ya, mungkin kita sering mendengar atau bahkan melihat sendiri kerusuhan antar suporter yang terjadi di ISL. Tetapi apakah dengan berbuat kerusuhan bisa dianggap sebagai hooligan ? Saya rasa tidak. Tidak, jika mereka masih terjebak dalam doktrin suporter yang lebih dituakan. Tidak, jika mereka terlibat kerusuhan karena berada di waktu dan tempat yang salah. Tidak, jika mereka tidak mengerti apa yang mereka perjuangkan dari pertumpahan darah tersebut. Hooligan memang seringkali bertindak anarkis tetapi sekedar tindakan anarkis tidak cukup untuk menggambarkan Hooliganisme.


Spartak Moscow (Sudut Merah) vs Zenit St.Petersburg (Sudut Biru)

sumber :
Wahyudi, Hari."The Land of Hooligans : Kisah Para Perusuh Sepak Bola". Garasi. Jogjakarta. 2009.


Post Sebelumnya:
http://degradablethoughts.blogspot.com/2010/10/hooligans-lebih-dari-sekedar-penonton.html

Tuesday, 7 September 2010

Di Jalanan Kita Bermain

Sulitnya mencari lapangan untuk bermain futsal membuat saya teringat akan hal ini. Saat dimana futsal bukanlah hal yang menjamur dan menjadi sasaran kegiatan anak muda seperti sekarang,(bisnis) lapangan futsal pun masih sulit ditemukan. Futsal belum menjadi sebuah olahraga yang komersil dan masih jarang didengar. Tidak seperti sekarang yang harus menyewa lapangan jauh - jauh hari jika ingin bermain. Kita masih bermain dengan lapangan sepakbola biasa atau teman - teman saya biasa sebut dengan lapangan besar. Tentunya dengan lapangan seukuran itu tidak mungkin jika hanya bermain lima lawan lima atau tiga lawan tiga. Belum juga main, harus mencari personil. Repot.

Meksiko

Solusinya pun muncul dengan sendirinya. Tidak perlu banyak orang untuk bermain, tidak harus bermain di lapangan, tidak ada memiliki aturan yang "merepotkan", bisa dengan sandal atau nyeker, waktu ? sepuasnya. Benar jika anda menebak sepakbola jalanan, permainan sepakbola yang merupakan bagian dari urban culture ini lahir dari depan rumah atau pinggir jalan bahkan gang sempit. Menurut saya olahraga ini memiliki prisip yang sama dengan urban culture lainnya yang lebih merupakan penolakan atas sikap posh dari peraturan sepakbola formal yang bisa dikatakan terlalu banyak menuntut untuk bisa dimainkan di tengah ramainya kota yang tidak memiliki ruang bermain yang cukup. We just want to express ourselves and have fun, no need to make it difficult.

Brazil

Sepakbola jalanan atau bahasa kerennya Street Football (never say soccer) permainan sepakbola yang tidak selalu dinilai dari perolehan gol yang dicetak oleh kedua tim (bisa 1on1). Cara menentukan untuk menjadi pemenang seringkali lebih merupakan hasil kesepakatan kedua belah pihak. Kesenanganlah yang dicari bukan kebanggaan untuk menang dengan selisih skor besar. Bermain dengan kebebasan di atas jalanan.

Panama

Seiring dengan perkembangan olahraga sepakbola yang semakin mendunia tentu sepakbola jalanan pun terkena imbasnya dan karena memang pada dasarnya sepakbola merupakan olahraga yang bisa menyatukan berbagai kalangan lapisan masyarakat maka dengan cepat penggemar olahraga ini pun bertambah banyak. Dengan melihat terus meningkatnya penggemar olahraga ini, para produsen perlengkapan olahraga yang sudah mendunia pun tidak tinggal diam. Mereka mulai berani untuk mendanai acara - acara dengan model olahraga seperti ini (tentu dengan sedikit modifikasi). Hasilnya pada tahun 2006 diadakan "Street Football World Championship" untuk pertama kalinya di Berlin. Dari gang kumuh perjalanan panjangnya pun sampai di pentas dunia.

Irak


Sore hari sepulang sekolah
bermodalkan sandal jepit dan bola
mereka membuat gawang dengan jarak selangkah
yang seringkali tidak ada penjaganya

Bola diletakan ditengah "lapangan"
tentukan giliran dengan suit
mulailah berlarian
berkejaran kesana kemari

Tidak perlu wasit atau aturan
sportifitas muncul dengan kesadaran diri sendiri
bahkan pelanggaran
hanyalah sebuah bahan tertawaan

Bukan jumlah gol yang dikejar
melainkan kepuasan bermain
dan kesenangan berkumpul bersama teman

Senangnya bermain sepakbola jalanan
jauh dari kata tawuran
kecurangan
dan permusuhan.




Wednesday, 28 July 2010

Oranje Is De Kleur Van Gekte


Baru saja saya membaca "FourFourTwo" yang membahas tentang WC 2010, tertulis disana "Dominasi Sepakbola Pragmatis" ya benar sepakbola pragmatis--permainan sepakbola yang hanya mementingkan hasil akhir daripada permainan sepakbola yang menghibur--hilangnya karakteristik yang sudah melekat pada tim-tim unggulan karena tuntutan menjadi juara WC kurang lebih mewarnai sebagian besar pertandingan pada perhelatan akbar empat tahunan ini. Tidak ada yang namanya joga bonito, kick and rush atau total football. Tetapi bukan sepakbola pragmatis yang ingin saya angkat disini melainkan ciri khas permainan salah satu finalis WC 2010, yaitu tim Oranye, Belanda.

Siapa yang menyangka Belanda bisa sampai pada tahap final setelah bertemu Brazil dan unggul 2 - 1 atas raja sepakbola itu. Jujur saat itu saya yang merupakan fans tim Belanda pesimis dapat menang atas tim Brazil, tetapi kerja keras anak asuh Bert van Marwijk ternyata berkata beda. Sesaat setelah pertandingan berakhir saya penasaran untuk melihat tanggapan teman - teman saya mengenai pertandingan ini di twitter. Tentu saja timeline saya dipenuhi komentar pertandingan yang baru saja berakhir itu tetapi buat saya menjadi mengherankan saat terdapat banyak komentar seperti "..and thats what i called Total Football...", "Total Football 2 vs 1 Brazil" , "Total Football menang.." dan sebagainya. 

Total Football ? Untuk saya yang juga merupakan fans dari Ajax Amsterdam, Marco van Basten dan Johan Cruijff cara bermain mereka tidak bisa disebut dengan Total Football. Mungkin mereka menang dengan mental bertanding yang hebat setelah tertinggal lebih dahulu dan bisa menutupi pergerakan pemain Brazil di babak kedua tetapi saat itu saya sangat yakin sepakbola Belanda tidak lain adalah pragmatis.

Jika kita melihat sejarah pada tahun 1974 dan 1978 dimana sepakbola Belanda saat itu dipimpin oleh seorang Cruijff sangat terlihat seperti apakah Total Football itu sendiri dan tradisi itu dilanjutkan oleh Trio Belanda--Basten,Gullit dan Rijjkard--pada akhir 80an lalu menghilang pada era akhir 90an hingga 2000 awal kemudian Van Basten yang ditunjuk sebagai manajer tim Belanda saat itu membawa kembali semangat Total Football mereka pada Euro 2008. Terakhir gaya bermain peninggalan Cruijff ini justru diadopsi oleh tim Spanyol sehingga bisa menjadi juara WC 2010 dan Euro 2008.



Total Football '74 - Jerman Barat

Operan pendek satu-dua dengan mobilitas tinggi, kemampuan adaptasi oleh seorang pemain untuk bermain di berbagai posisi sehingga tidak adanya posisi tetap dan terus menekan lawan, itu lah esensi Total Football. Kata total di depan bukan hanya karena mereka selalu mendominasi lawannya dengan permainan possesion football yang hampir sempurna tetapi karena 11 pemain bermain secara total untuk menjadi 1 tim bukan ke"sebelas"an and thats for me is "The Total Football".


Total Football '74 - Uruguay



Johan Cruijff - The Dutch Football Maestro

Post sebelumnya: