Sunday, 21 June 2015

Siapa Sih: Thomas Tuchel


"Sosok yang dikatakan oleh Jupp Heynckes telah ditakdirkan untuk menangani penguasa Bundesliga, Bayern, suatu hari nanti, tapi apa yang membuatnya begitu diincar?"


Perjalanan bersama antara Borussia Dortmund dan pelatih eksentrik Jurgen Klopp telah mencapai akhir. Dan lembaran baru segera dibuka.

Tidak ada yang menyangka musim 2014/2015 menjadi musim terakhir Klopp di Dortmund. Pasalnya semusim yang lalu semua berjalan baik-baik saja. Memang selalu ada kemungkinan unutk membela klub-klub di Premier League, tapi tidak didahului dengan momen krisis.

Dortmund mengawali musim berstatus sebagai runner-up. Hanya kalah dari Bayern Munich yang menorehkan rekor menjuarai Bundesliga tercepat sepanjang sejarah. Tapi kenyataannya Klopp kehilangan kontrol atas die Borussen. Mats Hummels dan kawan-kawan harus merasakan ketirnya peringkat bontot.

Bagai Lazarus, Dortmund bangkit. Di 2015 mereka memenangkan sembilan dari 17 pertandingan di liga, berbanding dengan hanya empat kali menang dalam paruh pertama. Lebih menakjubkan lagi klub yang identik dengan warna kuning dan hitam ini berhasil melangkah ke Liga Europa sebagai tim peringkat tujuh klasemen.

Akhir musim yang dramatis, meski gagal dipermanis dengan trofi DFB-Pokal sebab kalah dari VfL Wolfsburg: Namun, tulisan ini bukan soal Klopp. 
Kurang lebih sebulan sebelum Bundesliga berakhir, tepatnya pada 19 April, Dortmund telah mengumumkan Thomas Tuchel sebagai suksesor. Mantan pelatih Mainz tersebut ditunjuk menggantikan pendahulunya yang juga pernah melatih klub yang sama.

Tuchel adalah pelatih muda potensial yang membuat banyak klub-klub besar Jerman memasukkan namanya ke dalam wish list. Sosok yang dikatakan oleh Jupp Heynckes telah ditakdirkan untuk menangani penguasa Bundesliga, Bayern, suatu hari nanti, tapi apa yang membuatnya begitu diincar?

Dari Swabia
Karier Tuchel tidaklah mulus. Ia mengenyam pendidikan di akademi FC Augsburg (yang 27 tahun lalu masih berkutat di divisi empat liga Jerman) dan mendapat kesempatan pertama sebagai pesepak bola profesional untuk membela Stuttgarter Kickers (klub divisi dua yang bermarkas di Baden-Württemberg). Ia yang saat itu masih berusia 19 tahun tidak sanggup menembus tim utama dan hanya bertahan selama dua musim sebelum pindah klub.

Kemudian SSV Ulm (klub divisi tiga regional) menjadi tempat baru Tuchel melanjutkan karier. Klub ini menjadi tempat pria kelahiran Swabia tersebut menghabiskan empat musim, hingga kariernya berakhir akibat cedera parah di bagian tulang rawan basal. Akhirnya pada usia 25 tahun ia memutuskan sudah cukup dan tidak ada lagi berlari-lari di tengah lapangan.

Sebagaimana jalannya nasib; ketika satu pintu tertutup maka pintu lain akan terbuka, dan Tuchel memutuskan mengambil langkah untuk terus maju dalam dunia sepak bola. Dalam usia yang masih terhitung muda, bahkan dalam ukuran usia pesepak bola, Ia pun terjun ke dunia kepelatihan. 

Tuchel yang merasa nyaman di Baden-Württemberg melatih klub muda VfB Stuttgart, dan ia bagus dalam melakukan pekerjannya. Ia sukses menjadikan die Schwaben menjuarai Bundesliga U-19 di 2005. Di sinilah ia bertemu dengan bakat-bakat seperti Sami Khedira, Andreas Beck, Adam Szalai dan Sebastian Rudy. 

Kesuksesan di Stuttgart membawa Tuchel pindah ke Augsburg semusim berikutnya. Setelah tiga musim ia memilih meninggalkan Jerman timur menuju barat untuk menangani FsV Mainz U-19. Di tempat baru reputasi pria yang berulang tahun pada 29 Agustus ini sebagai pelatih muda terus meningkat secara perlahan. Tangan dingin mempertemukannya dengan kesuksesan lain saat menjuarai Bundesliga U-19 di 2008.

Potensi tersebut menarik perhatian manajemen Mainz. Akhirnya, hanya setelah 12 bulan bertanggung jawab atas tim muda dan tanpa pengalaman menangani tim senior sama sekali, General Manager Christian Heidel mengambil langkah berani dengan menggeser Jorn Andersen yang sukses mempromosikan Mainz ke Bundesliga dengan pelatih tim muda mereka. Maka pada usia 35 tahun Tuchel resmi menangani tim utama Mainz.

Di Rhineland-Palatinate Tuchel terus mengutamakan para pemain muda. Di sini ia berhasil mengorbitkan Andre Schurrle dan meneruskan kerja samanya dengan Szalai. Ia juga punya pandangan sendiri tentang bagaimana sebuah tim seharusnya bermain (yang akan lebih banyak dibahas nanti).

Tuchel menyelesaikan musim perdana bersama Mainz di peringkat sembilan. Tidaklah buruk untuk pemula. Kemudian pada 2009/2010, musim kedua bersama die Nullfünfer, semua berjalan kian baik ketika ia meneruskannya dengan kesuksesan finis di posisi kelima dan karenanya menggapai tiket Liga Europa. 
Pencapaian tersebut adalah yang terbaik bagi klub yang telah berdiri sejak 1905 itu. Tak heran bila Schalke dan Bayer Leverkusen mulai melirik terhadap kemampuan sang pelatih.

Namun demikian, proyeksi terbang Mainz tidak melulu melawan gravitasi. Berkompetisi di Eropa ternyata menjadi beban yang terlampau berat bagi mereka. Mainz tidak dapat menunjukkan performa sama seperti musim 2010/2011. Selain tersingkir dari Liga Europa oleh tim semenjana Gaz Metan asal Romania, pada 2011/2012 dan 2012/2013 mereka harus puas bertengger di papan tengah klasemen.

Situasi ini menjadi pengalaman bagus bagi Tuchel. Ia merasa harus melakukan pendekatan lain untuk membangkitkan semangat anak asuhnya. Ia mendekatkan diri dengan para pemainnya di meja makan dengan tujuan merekatkan tim. Ia sadar mengenali karakteristik per individu dalam tim menjadi bagian penting dalam dunia manajerial, dan bahwa hasil di atas lapangan bukan melulu soal adu taktik.

Bicara soal taktik, meski usianya saat itu masih muda Tuchel tidak malu-malu bereksperimen baik dalam latihan atau saat bertanding.

Ala Tuchel
Tidak mungkin bagi Tuchel untuk menghindari perbandingan dengan Klopp pada musim pertamanya. Berbeda dengan Klopp yang gemar menginstruksikan strategi counter-pressing maka Tuchel lebih "santai"; ia menyusun taktik agar Mainz meredam serangan sebelum melancarkan pukulan balik dengan cepat.

"Ada gaya [bermain] tertentu yang dikaitkan dengan saya, yang kami peragakan di di Mainz: bermain mengandalkan kecepatan dan dengan tujuan menyerang. Saya menyukai hal-hal tertentu dalam sepak bola, seperti gaya bermain yang aktif, cara bertahan yang lugas dan menyerang dengan cepat," ujar mantan pemain bertahan itu kepada surat kabar die Zeit.

Bagi penggemar Dortmund, setidaknya kalian tidak perlu khawatir berlebihan soal kemungkinan flop dari penerus Klopp. Setidaknya tidak seperti David Moyes yang mengisi kepergian Alex Ferguson dari Manchester United; Tuchel tahu apa yang ia inginkan. Bahkan ia juga punya menu khusus dalam persiapan latihannya.

Tuchel kerap melakukan rhomb-training: istilah yang secara kasar dapat diartikan sebagai "sebuah bentuk", rhombus yaitu "permata", atau rhombi yang maksudnya "bentuk selain persegi". Di mana dimensi lapangan akan dibentuk dalam segi lima (permata) yang membatasi ruang gerak para pemain di kedua sayap sehingga mereka tidak bisa membawa bola sampai garis gawang dan mengarah ke tengah kotak penalti lawan.

Tidak hanya terbatas pada segi lima, bentuk lapangan permainan pun bisa saja menjadi lingkaran, atau dengan luas lapangan yang variatif: lebar 18m dengan panjang 75m atau lebar 70m dengan panjang 30m. Tergantung dengan kondisi yang diinginkan oleh Tuchel untuk mengantisipasi lawan. Latihan seperti ini dipercayai dapat membantu para pemain Mainz membayangkan skenario sesungguhnya ketika bertanding.

Latihan tersebut berhubungan dengan formasi 5-2-2-1 yang diterapkan oleh Tuchel di Mainz dalam keadaan netral; di mana para gelandang dan penyerang berdiri membentuk segi lima. Formasi ini akan berubah menjadi 3-4-2-1 ketika dua gelandang serang saat itu: Eric Maxim Choupo-Moting dan Nicolai Muller, bermain lebih ke depan mendukung Shinji Okazaki sebagai ujung tombak dengan kedua wing back membantu dari flank.

Tidak seperti gegenpressing yang bermain intens hampir selama 90 menit untuk memotong bola di lapangan lawan, Tuchel membuat tim asuhannya lebih fleksibel. Ia berusaha meminimalisir dampak serangan dengan strategi yang membiarkan lawan menguasai bola di lapangan sendiri. Dengan begitu mantan pemain belakang itu memberikan kesempatan bagi pasukannya untuk bernafas dan sebelum menyerang dengan efektif.

Meski demikian, dengan bermain lebih sabar bukan berarti Tuchel kerap bekerja sama dengan pemain berumur yang tidak kuat lari sana sini. Ia tetap mengandalkan pemain muda yang punya tenaga meluap-luap agar serangan dapat dieksekusi dengan cepat. Dan pemain yang lebih hijau seringkali mudah adaptasi dengan taktik baru, demi mengikuti keinginan Tuchel sebagai sosok yang berani bereksperimen.

Bagi Dortmund Tuchel bukan pilihan buruk, ia jelas punya prospek yang cerah. Toh, pada 2013/2014 grafik kemenangan Mainz kembali menanjak dengan hasil akhir menduduki peringkat tujuh klasemen dan sekali lagi lolos untuk berkompetisi di Liga Europa; kemudian sang pelatih hiatus semusim.

Persoalan yang lebih nyata bukanlah kemampuan Tuchel meramu taktik tapi bagaimana caranya mengatasi tekanan dengan memimpin tim yang memiliki reputasi dengan desakan jauh lebih besar dari Mainz untuk sukses; baik di Jerman atau Eropa.

  •  Artikel ini terbit juga di Sportsatu.com - http://www.sportsatu.com/opini/-119.html

No comments:

Post a Comment