Apa yang akan anda lakukan saat negara anda
menggantungkan harapan pada tindakan yang akan anda lakukan? Apa yang anda
lakukan jika anda menjadi seorang Andrea Pirlo pada malam dimana seluruh rakyat
Italia mengharapkan apa pun yang akan anda lakukan dalam beberapa detik ke
depan tidak membuat mimpi buruk mereka menjadi kenyataan, harus kalah dari
negara yang memiliki rekor sangat buruk dalam adu pinalti hingga kata buruk
tersebut hanya bisa dibandingkan dengan “harum”nya sungai Ciliwung.
Sebagai salah satu eksekutor adu pinalti dalam
laga penting sebagian besar dari anda akan menendang bola menjauhi kiper, sudah
itu saja, yang penting saat giliran anda maju anda tidak mengacaukan apa pun.
Tentu hal tersebut sangat lumrah dan bisa dipahami sebagian banyak orang
sebagai keputusan yang benar tetapi tidak begitu dengan Andrea Pirlo,
L’architecte de Azzurri.
Dalam sebuah orkestra, dirijen menjadi bagian
penting dalam menentukan ritme, seorang komandan, seorang perajut nada, seorang
yang membuat orang lain melakukan apa yang anda inginkan. Selama 120 menit
tidak ada yang bisa menandingi Pirlo dalam melantunkan operan-operan panjang
yang membuat Inggris kalang kabut, 20 shots
on target diperoleh Azzurri yang bila tanpa kehadiran Joe Hart mungkin
hanya butuh 45 menit untuk membuat Three Lions menyerah.
Fakta bahwa Inggris akhir-akhir ini lebih
memilih bermain pragmatis tidak mengejutkan. Setidaknya mereka beranggapan
bahwa dengan cara ini Chelsea berhasil meraih trofi Liga champions untuk
pertama kalinya dalam sejarah mereka—tertunda karena basahnya rumput
Luzhniki—walau agak lucu saat lawan mereka memiliki gaya permainan yang
(seharusnya) identik dengan bertahan juga.
Beruntung hanya satu tim memilih peran sebagai
tim reaktif pada malam itu. Italia sebagai tim yang lebih memiliki inisiatif
dalam mengontrol jalannya pertandingan dengan mengambil peran proaktif tentu
lebih layak menang. Begitu juga seharusnya Bayern Munich di Allianz Arena toh kenyataan berjalan beda. Sepakbola
sering menyajikan drama dimana sang protagonis tidak selalu mendapat
akhir yang bahagia dan
kita semua paham mengenai itu.
Ada atmosfir yang sama kala Montolivo gagal
mengarahkan bola ke sudut kiri gawang Joe Hart. Inggris (seperti Chelsea) yang
telah mati-matian bertahan akhirnya sanggup membawa lawan mereka dalam adu
penalti dan membuat diri mereka nyaman dalam kondisi tersebut. Hingga giliran Pirlo maju.
Pirlo adalah seorang seniman dan layaknya
seorang seniman berperilaku dengan cara yang sulit diterima akal sehat begitu juga
dengan Pirlo. Sekedar menuntaskan tendangan pinalti bukanlah sebuah tindakan
yang sulit, mengapa tidak sekalian saja melukis sebuah tendangan penalti dalam
benak jutaan penonton di seluruh belahan dunia yang mengatakan bahwa hari ini
Italia akan menang dari Inggris dan kemenangan tersebut lahir atas estetika
yang bahkan membuat Muhammad Ali kehilangan kata. Panenka Chip.
“Don't try to be original, just try
to be good”, kata Van Der Rohe--arsitek, dalam arti sebenarnya. Persis seperti yang dilakukan Antonin Panenka
pada 1976 silam saat Chekoslovakia mengalahkan raksasa Eropa, Jerman barat,
Pirlo melakukan hal yang serupa. Menghadirkan ketenangan yang tidak sekedar
mengecoh Joe Hart dengan cungkilan sederhana mengarah ke tengah gawang yang
hanya bisa digagalkan bila kiper memilih tidak bergerak, pada saat itu pula
momentum berbalik mendukung Italia.
Panenka dari Pirlo bukanlah tindakan yang
arogan. Berisiko, ya, namun langkah tersebut adalah strategi jitu yang harus
diambil. Saat timnya butuh dorongan motivasi setelah mendominasi pertandingan
dan mendapati diri mereka tertinggal dalam adu pinalti Pirlo sekedar memberi
jawaban.“Gitu aja kok repot”, ujar
Pirlo.
Sorry lads, it's mine |
No comments:
Post a Comment