Thursday, 14 March 2013

De Toekomst, Denyut Jantung Ajax





Lanjutan Liga Champions. Di Nou Camp, Barcelona menang besar 4-0 dari AC Milan. Sementara itu di Schalke, salah satu alumni terbaik Ajax bertualang selangkah lebih baik dari kompatriot PSV-nya. Hari yang baik untuk sepak bola Belanda.

Semua orang sudah tahu bahwa faktor di balik keberhasilan Barcelona menjadi tim sepak bola terbaik dekade ini berkat campur tangan Johan Cruijff yang memberikan sentuhan pada gaya bermain serta pengembangan bakat muda di La Masia.

Bukan sebuah kebetulan final Piala Dunia 2010 mempertemukan Belanda dan Spanyol ada aura total football yang kental di dalamnya (walau akhirnya Bert van Marwijk memainkan sepak bola pragmatis yang membuat Cruijff malu pada tim nasionalnya sendiri), di dalamnya ada tujuh pemain lulusan De Toekomst dan tujuh pemain dari La Masia. Jika karena popularitas Barcelona sendiri begitu melambungkan nama La Masia, bagaimana dengan De Toekomst? Yang dikatakan oleh Frank de Boer sebagai denyut jantung Ajax Amsterdam.

Toekomst yang berarti "masa depan" bisa dibilang bukan taman bermain bagi para bakat terbaik sepak bola Belanda, lebih seperti pabrik; jika kualitas Anda tidak sesuai standar maka ucapkan au revoir. Di Toekomst ada berbagai grup umur, dari 7 sampai 19,  difasilitasi dengan 8 lapangan dimana setiap harinya melibatkan 200 anak akademi Ajax dengan gedung berlantai dua tingkat sebagai tempat fasilitas olahraga, kelas dan ruang staff.

Langkah pertama Anda sebagai pemain akan terus dimonitor dan setiap tahunnya performa Anda akan dievaluasi, tidak setiap orang mendapat kesempatan untuk kembali, mungkin sebagian dari Anda akan mengatakan sistem ini terlalu keras untuk pemain muda tapi memang seperti inilah dunia sepak bola modern.
Urvin Rooi ayah dari Dylan Donaten Nieuwenhuys salah satu didikan Toekomst sejak umur 7 tahun bercerita kepada Michael Sokolove dari New York Times identitas anaknya sebagai bagian dari Ajax terbentuk juga dari gelas minumnya yang berlogo Ajax, begitu juga dengan piyama Ajax yang dikenakan saat tidur, tentu dengan selimut Ajax pula.

Selain itu, identitas mereka juga  dibentuk sejak dini dengan bentangan foto-foto legenda seperti Cruyff, Davids, Van Basten, Kluivert hingga Sneijder menghiasi Toekomst dan dari sinilah gaya permainan mereka yang berpatron pada filosofi total football atau ideologi yang disebut oleh Jon Olde Riekerink, direktur akademi Ajax, kepada Fifa.com dengan T.I.P.S (Technique, Insight, Personality dan Speed). Latihan mereka dilakukan secara berulang-ulang, "Mereka akan dilatih hal yang sama lagi dan lagi dan lagi, lalu beberapa kali lagi," ujar Van Der Wiel mengingat masa-masanya di Toekomst. 

David Endt kepada FFT juga menyuarakan hal senada bahwa latihan yang mereka lakukan bukanlah untuk tim lain, mereka hanya mengembangkan diri untuk Ajax dan total football. Bayangkan, saat Anda dilatih sesuatu yang sama selama belasan tahun pasti akan membuat Anda mahir. Tetapi uniknya, Ajax tidak hanya bicara sepak bola, saat Anda belum menginjak umur 13 tahun 40% dari porsi latihan Anda bukan spesifik mengenai olah bola. Justru judo dan senam, "Untuk melatih kemampuan dasar motorik", jelas Rene Wormhoudt, pelatih fisik dan kebugaran di Toekomst.

Namun, bukan berarti Ajax meraih sukses sendirian. Baik PSV, Feyenoord dan Alkmaar ternyata menginterpretasi metode pengembangan bakat muda Ajax, periode pertengahan 2000-an menjadi masa kelam Ajax yang surut prestasi hingga akhirnya metode pencarian bakat mereka mengalami perubahan.

Sebelumnya, Ajax akan menyebarkan 40 volunteers ke daerah sekitar Amsterdam untuk mencari bakat tetapi Nicolai Boilesen dan Christian Eriksen menjadi bukti anyar sayap mereka telah ekspansi ke negara-negara tetangga untuk mencari bakat. Mengikuti kata Simon Kuper di Soccernomics, jika Anda ingin mencari bakat terbaik maka pool bakat yang paling bagus adalah berasal dari populasi yang besar juga. Dalam kasus Ajax, boleh dibilang dominasi beberapa tahun ini membuahkan hasil.

Satu hal lagi, kita sebagai bangsa Indonesia tentu sudah paham bahwa bakat pemain bola Indonesia tergolong unggulan puluhan tahun silam dan seiring berkembangnya sains dalam olahraga ini, keadaan Indonesia semakin tertinggal hingga hiatus seperti sekarang. Di Milan kita mengenal MilanLab yang menggunakan sains dalam olahraga untuk memperpanjang umur atlit sedangkan Ajax mempunyai miCoach Performance Centre, hasil kerja sama dengan Adidas yang dapat meningkatkan teknik para pemain di Toekomst.

Dengan teknologi state of the art ini, Ajax memiliki "laboratorium" yang bisa merekam teknik tendangan seorang pemain dari sudut 360° lalu ada juga GPS yang memonitor data fisik seperti detak jantung dan jarak yang ditempuh pemain. Seperti, Anda tahu, manufaktur purwarupa Lexus LFA dan teman-temannya. Yang kemudian datanya akan dianalisis oleh dosen dan mahasiswa Universitas Amsterdam. 

Riset semacam ini tentu membutuhkan pengeluaran tetapi dengan pemasukan dari penjualan pemain seperti Wesley Sneijder, menjadi hal yang kecil, lagipula saat Anda menanam bayam Anda sendiri dan menjualnya untuk di ekspor ke negara lain, biaya perawatannya tidak seberapa. Suarez, Van der Wiel, Stekelenburg, Emanuelson, Ibrahimovic, Huntelaar, Van der Vaart, Pienaar, Heitinga, Vermaelen, Vertongen, bayangkan betapa indah kebun bayam Amsterdam ini, ingin mencicipi? Bisa saja, tentu harganya selangit.

De Toekomst memang benar-benar denyut jantung Ajax yang dapat membuat mereka hidup, baik dalam melanjutkan masa depan pemain juga finansial klub, sayang setelah 1995 status juara Eropa kini sulit diraih kembali setelah menjadi feeder club.

*Tulisan ini pertama muncul di Definefootball.com

No comments:

Post a Comment