Thursday, 2 January 2014

Musim Man. United Buruk? Yang Benar Saja


"Jadi pindah?" "Bebas, gue ngikut aja"
Manchester United adalah Sir Alex Ferguson, cerita sukses mereka memang bisa dirunut dari masa kepemimpinan Sir Matt Busby tapi Man. United tidak akan menjadi brand mendunia jika bukan karena tangan besi penjelajah Skotlandia tersebut, yang pertama disebut, tentu saja. Era Premier League menjadi penanda masa keemasan bagi Setan Merah dan pendukungnya, setidaknya sampai Fergie memutuskan pensiun.

Berganti masa memang tidak mudah, bagi siapa pun, bagi apa pun, sama halnya untuk Man. United. Mengarsiteki klub tersukses di Inggris ini bukan seperti mengganti baterai habis. Satu orang Skotlandia tidak sama dengan orang Skotlandia lainnya. David Moyes “naik jabatan”. Dari seorang kandidat suksesor menjadi pemangku jabatan baru yang meneruskan kiprah Ferguson, setidaknya begitu rencananya.

Tapi nyatanya tidak semudah itu. Semasa jabatannya di Everton memang beberapa kali Moyes menjadi musuh yang sulit ditaklukkan oleh Man. United di Goodison Park. Hanya saja curriculum vitae sependek itu bisa jadi, belum cukup, hal inilah yang ditakutkan oleh suporter, pendukung, penggemar The Red Devils. Toh Moyes memang belum pernah juara apa pun, beda halnya dengan Ferguson kala menginjakkan kaki di Manchester.

Entah keputusan Ferguson menunjuk Moyes benar atau salah, adalah pertanyaan yang sulit, sukar dijawab, bahkan diterawang oleh Mama Lauren sekali pun. Jika dinilai dari setengah musim pertamanya tentu saja jawabannya mantan pemain Glasgow Celtic itu orang yang salah, Old Trafford yang diagung-agungkan menjadi Teater Mimpi Buruk. Namun, saya bosan bicara tentang itu, apabila Anda mencari jawaban, saya punya untuk sementara ini. Bilang saja, “Sir Alex juga ngga langsung sukses kali!”. Padahal kita tahu kondisi saat itu dan ini jauh berbeda, berdoa saja lawan bicara Anda bukan penggemar sejarah sepak bola.

Ini yang coba saya tulis, saya adalah penggemar Man. United walau harus diakui bukan yang paling fanatik. Bagi saya sepak bola terlalu indah untuk ditujukan pada satu klub saja, apalagi yang berada nun jauh di sana. Bukan berarti saya tidak peduli dengan keterpurukan Manchester Merah itu: terancam tidak bermain di Liga Champions musim depan, pertahanannya yang rapuh, bersaing dengan klub yang biasa berada di papan tengah seperti Newcastle United, Everton, Tottenham Hotspur (dengan Tim Sherwood, yang baru beberapa pertandingan menjadi manajer), dan kalah empat kali di Old Trafford pada setengah musim tidak bisa dibilang pengalaman untuk dikenang. Hanya saja, ada hikmah di balik setiap kejadian. Oke, yang barusan itu klise tapi lihat dari sudut pandang ini.

Anda telah dimanjakan oleh Sir Alex. Tidak pernah keluar dari tiga besar sepanjang perjalanan Premier League, curang menurut teman-teman Anda yang pendukung Liverpool. Boleh dibilang seperti memakai gameshark. Meski ada kalanya di awal musim terombang-ambing tapi dalam hati Anda selalu ada rasa nyaman, dari kepastian bahwa Anda percaya Sir Alex mampu dan tidak akan mengecewakan Anda. Well, tidak ada lagi Sir Alex. Tidak ada lagi jaminan prestasi. Apabila Manchester United adalah Sir Alex, maka yang kita tonton setiap pekan di 2013/2014 ini apa? Ini juga Manchester United, yang lebih asik. Lebih gila. Yang bukan membuat Anda berdecak kagum tapi berteriak kesal. “aduh” “yaelah” “kok gitu dah” “EVRA!”, dan lain-lain. Bila sebelumnya Anda menantikan menit-menit akhir sebagai Fergie Time saya yakin kini Anda menjadi was-was ketika Moyes Time tiba.

Daripada menyesali Anda memilih merah sebagai warna Anda, ada cara lain yang lebih mudah. Jangan dilawan. Enam kemenangan berturut-turut bukanlah apa-apa, dulu, manisnya tiga poin hanya dibicarakan ketika melawan empat-lima tim teratas, dulu, tapi kini berhadapan dengan Hull City sudah bisa membuat Anda olahraga jantung. Anda tidak lagi dihibur secara Hollywood dengan happy ending-nya, selamat datang di festival film indie komunitas film pendek antar mahasiswa, yang di dalamnya ada selipan, “idenya bagus nih tapi …”

Anda dihadapkan pada proses, bukan lagi hasil akhir. Anda belum terlambat, lihat proses Adnan Januzaj sebuah bakat bersinar Eropa yang harus bertranformasi dalam tim terpuruk ini, lihat perjalanan karier Shinji Kagawa yang tampil terbatas di tim terpuruk ini, Wayne Rooney yang berkorban menekan egonya dan lebih banyak bermain jemput bola demi tim terpuruk ini, Robin van Persie yang kini mulai cedera di tim terpuruk ini. Catat semua hal-hal yang tidak buruk itu dan rayakan semua kesuksesan kecilnya, cetak gol melawan Newcastle sama manisnya melawan Liverpool, melewati posisi Spurs sama bagusnya menghadapi Chelsea. Semua yang kecil ini menjadi besar sekarang.

Musim yang mengecewakan? Tidak juga. Setiap pekan menjadi pertandingan besar yang pantas dinantikan. Kesalahan apa lagi yang dibuat Jonny Evans Cs. di belakang, masihkah David Moyes ragu memasangkan Kagawa sebagai playmaker, kapan Wilfried Zaha turun sebagai starter, apa jalan keluar yang bisa membuat semua potensi pemain ini menjadi poin-poin berhadiah tiket Liga Champions, semua lelucon ini begitu buruk hingga akhirnya menjadi lucu, pantas ditertawakan. Musim yang menghadirkan senyum tawa, ya, itu dia.