Tuesday, 25 February 2014

Kekalahan Man. United Merupakan Jalan Pintas Bagi Moyes

This could happen, even though with lesser team.
Masih teringat bagaimana senangnya para pendukung Manchester United mendapatkan Olympiakos di babak 16 besar. Lawan mudah, begitu yang terpikir dan memang tidak disalahkan, siapa juga yang akan menjagokan tim yang pencapaian terbaiknya di Liga Champions hanyalah perempat final.

Asumsi tersebut ditambah dengan catatan tidak pernah kalah Man. United dari wakil Yunani itu. Optimistis, meyakinkan, mungkin juga meremehkan tapi kebanyakan suporter The Red Devils lupa tentang usaha David Moyes memecahkan rekor yang sebelumnya bahkan tidak terpikirkan di era Sir Alex Ferguson.

Ya, Man. United kembali kalah. Mengejutkan mungkin, tapi sebenarnya jika melihat performa tim terbaik Yunani tersebut maka kemenangan mereka memang kemungkinan yang masuk akal. Bagaimana tidak, di liga domestik Olympiakos adalah raja. Mereka juara liga 40 kali dan musim ini berjalan baik bagi klub berjuluk Thrylos (artinya legenda dan apa pun yang bisa mendapat julukan seperti itu tidak bisa dianggap remeh), menang 24 kali dan seri dua kali. Mau dibandingkan dengan penantangnya dari Inggris? Rasanya kita semua mengerti performa Si Setan itu.

Tapi mari mengenyampingkan hal tersebut, toh Man. United juga rajanya Liga Inggris. Tidak seimbang membandingkan Hercules, Apollo atau Zeus dengan Benedict Cumberbatch dan Tom Hiddleston. Yang terlihat daripada permainan fantastis tuan rumah adalah Moyes gagal menunjukkan permainan standar, atau mereka tidak bermain sama sekali, dari skuat asuhannya. Lesu, tampak bingung, mendung. Bisa jadi juga sudah ada orang di luar sana yang mulai merasakan iritasi kulit karena permainan Man. United sangat terpaku pada umpan sayap.

Terlebih lagi melihat duet Michael Carrick dengan Tom Cleverley. Melihat Carrick-Cleverley bersamaan sejak menit awal seperti membeli tiket ke rumah hantu atau atraksi semacamnya, Anda tahu meski dapat melaluinya tadi selalu ada perasaan was-was. Benar saja, dua gol Olympiakos tercipta dari posisi yang sama, di depan kotak penalti dan tanpa mendapat kesulitan dari dua yang namanya baru disebut. Rasanya buruk, sama buruk ketika melihat muka Anwar Congo. Sepet.

Memang merisaukan dengan adanya kemungkinan terdepak di Liga Champions oleh Olympiakos, mereka sama sekali tidak dianggap sebagai kuda hitam, bahkan mungkin tidak ada yang melihatnya sebagai kuda. Namun jika mindset kita diputar sedikit kekalahan ini hanyalah usaha Moyes menaikkan profil dirinya.

Terakhir kali Man. United mampu membalikkan kekalahan 2-0 di leg pertama dan terus melaju ke ronde selanjutnya di Liga Champions terjadi pada 1984, saat itu bahkan mengalahkan Barcelona (masih diperkuat Diego Maradona). Tentu akan sangat keren bila Moyes bisa mengulang kejadian serupa dan membalikkan keadaan, ejakulasi! Meski lawannya hanya Olympiakos tapi dapat dipastikan menjadi cerita yang menghiasi tajuk utama koran olahraga Inggris di pagi harinya. 

Jika ada teman Anda yang mengatakan, "Lebay nyet, lawannya cuma Olympiakos". Jangan ragu untuk membalasnya dengan cerita hebat tentang siklus dari 30 tahun yang lalu. Karang saja sendiri, semakin banyak bumbu semakin bagus. Siapa yang dapat menyalahkan Anda, suporter Man. United terlalu sering dihadapkan pada kenyataan pahit belakangan ini.

Yang justru menarik kekalahan ini berpotensi menjadi cara curang, atau halusnya jalan pintas, Moyes untuk lepas dari tekanan, untuk mendapatkan pengakuan bahwa timnya memiliki DNA "Never Say Die United" yang sama dengan yang dibangun oleh Ferguson. Lalu bagaimana jika gagal? Ternyata Olympiakos justru mendapatkan kemenangan pertama di Old Trafford. Loh, yang seperti itu bukannya sudah biasa. Lagipula ada kesepakatan bersama bahwa Moyes memang pantas ditahbiskan sebagai "Sang Manajer Pemecah Rekor", seperti yang dikatakan Pangeran Siahaan.

Monday, 10 February 2014

Moyes yang Menyilang dengan Salah

Bukan salah jawab, lebih tepatnya salah baca soal

Manchester United kali ini memang tidak kalah, tapi bukan berarti tidak kalah mengecewakan. Bukan karena permainan negatifnya tapi justru karena ketidakmampuan Manchester Merah beradaptasi dengan jalannya pertandingan. Skor akhir tertulis 2-2, dengan gol Darren Bent menceploskan bola ke gawang tanpa kawalan--David De Gea lagi tiduran (jatuh)--di menit 94. 94 dari 95 men!

Jadi begini, bagi yang kebetulan tidak melihat pertandingan melawan tim asuhan Rene Meulensteen, Man. United sama sekali tidak bermain buruk, kecuali lini belakang yang tidak bisa dihitung karena mereka memang buruk sejak awal musim. Penguasaan bola Setan Merah mencapai 75%, mereka melakukan lebih dari 700 operan berbanding 200-an, diantaranya 82 umpan silang harus diakui semua tampak berjalan mulus tapi, dan ini penting, hanya 18 yang mencapai sasaran. Tanpa satu pun yang berhasil dikonversi menjadi gol.

David Moyes mengingatkan saya dengan anak kuliahan yang belajar kebut semalam sebelum ujian. Entah apa yang dan stafnya persiapkan namun mereka tampak tidak punya rencana cadangan. Mungkin mereka terlalu banyak bermain FIFA dan hanya mempelajari satu bab dari sekian banyak yang ditugaskan oleh dosen, mereka tidak menyiapkan jawaban yang cocok dengan pertanyaan dari Pak Dosen Meulensteen, sehingga apa pun soalnya jawabannya selalu, "serang dari samping" atau agar sedikit variasi "umpan silang", meski keduanya toh sama saja, sama-sama salah.

Memang kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Moyes, suksesor Sir Alex Ferguson ini mungkin terpengaruh karena banyaknya jumlah pemain sayap Man. United yang bisa beroperasi sebagai sayap. Lumrah jika eks gaffer Everton itu mengira bermain dari samping berarti mengandalkan umpang silang. Padahal tidak selalu begitu.

Ferguson pun yang identik dengan permainan sayap konvensional pernah memiliki Cristiano Ronaldo, jelas pemain Portugal itu bukan orang yang paling sering mengirim umpan silang, atau formasi tiga penyerang mengandalkan Ronaldo, Wayne Rooney dan Carlos Tevez. Setelah melewati masa David Beckham baru memasuki era Luis Nani, Ashley Young dan Antonio Valencia kemudian Man. United kembali memperbanyak jumlah operan silang mereka. Bukan berarti Moyes harus terpaku pada hal itu.

Ingat, manajer yang baru ini membeli Juan Mata, yang sebenarnya lebih merupakan pemain nomor 10, begitu pun adanya Shinji Kagawa. Mereka bisa menyalurkan bola dari tengah dengan bola-bola pendek mengingat Paul Scholes tidak ada lagi untuk mengirim bola jauh dari belakang mungkin langkah menaikan titik vokal serangan agak ke depan bisa dicoba sebagai variasi.

Sayangnya Mata punya potensi menjadi Juan Veron kedua, setidaknya jika musim depan tidak ada perubahan berarti dari segi taktik. Saya bisa tebak bila Moyes tinggal di Tangerang Selatan dan harus ke Bandung dia akan bersikeras melewati tol JORR meski harus bermacet-macetan karena perbaikan jalan tol sekitar Pasar Minggu, harus ada yang mengingatkannya bahwa sedikit memutar lewat tol dalam kota tak apa, jauh lebih lancar (bukan di jam pulang-pergi kantor), asal mau coba. 

Pada akhirnya, Moyes menyilang jawaban yang salah, karena menjawab soalnya dengan mengisi bundaran yang tersedia, jangan lupa pensil 2B-nya.