Tuesday, 22 April 2014

Adu Jago Ancelotti dan Guardiola di Santiago Bernabeu

Tidak sedikit yang mengatakan pertandingan antara Real Madrid dan Bayern Muenchen sebagai final yang kepagian, apa pun itu laga ini tepat dirayakan sebagai pesta sepak bola.

Kemampuan taktik kedua pelatih, Carlo Ancelotti dan Pep Guardiola, tidak perlu diragukan lagi. Saat keduanya bertemu dengan tim masing-masing di lapangan akan menarik untuk melihat siapa yang keluar sebagai pemenang.

Saya cukup yakin tidak ada parkir bus seperti yang Chelsea lakukan terhadap Atletico Madrid di Vicente Calderon, Jose Mourinho memang mengatakan bukan niatnya untuk mencari skor imbang, 0-0, namun di saat bersamaan permainan yang diperagakan The Blues jelas terlihat berusaha mencuri gol dari set-piece alih-alih merencanakan serangan balik efektif.

Ancelotti, sebagai seorang Italia dan lulusan Coverciano, pusat pelatihan pelatih sepak bola negeri Pizza tersebut, punya reputasi sebagai seorang yang handal meramu taktik. AC Milan pernah dia bawah menjadi juara Liga Champions dua kali, Chelsea dan Paris Saint-Germain pernah merasakan sentuhan tangan dinginnya, Madrid baru saja dibawanya menjuarai Copa del Rey dengan mengalahkan rival abadi, Barcelona, di Stadion Mestalla.

Setelah di awal musim perjalanan Madrid kurang mulus, kalah dua kali sebelum Oktober, namun perlahan-lahan Los Blancos mulai dapat beradaptasi dengan permainan bola-bola pendek yang diinginkan Ancelotti dan kini kembali sebagai penantang kuat untuk gelar juara La Liga.

Apakah dengan formasi "Pohon Natal" yang terkenal bersama Milan atau 4-3-3 bersama Madrid musim ini, Don Carlo punya pengalaman lebih dari cukup untuk diadu dengan manajer mana pun.

Lawannya, Guardiola, seorang perfeksionis yang bila boleh dikatakan, terobsesi, dengan pendekatan possession football. Didikan Johan Cruiyff yang pada kariernya gemilang sebagai pemain "nomor enam" kala maestro sepak bola Belanda tersebut menangani Barcelona.

Musim ini Guardiola mendominasi Bundesliga, banyak yang mengatakan semua terjadi karena liga Jerman tidak kompetitif dan Bayern diisi oleh kumpulan pemain terbaik di sana.

Yang justru menarik adalah setelah ditinggal Jupp Heynckes performa Bayern bukan hanya bertahan tapi juga meningkat, mengeksplorasi kemungkinan baru, mulai dari Phillip Lahm yang dijadikan gelandang bertahan, revitalisasi Rafinha, Arjen Robben yang tampil sebagai pemain kunci die Roten. Guardiola bukan hanya mempertahankan kualitas juara namun juga menghembuskan nafas baru bersama raksasa Jerman itu.

Baik pelatih atau tim adalah salah satu yang terbaik di Eropa, melihat mereka berduel membuat saya teringat dengan adegan tarung Iko Uwais dan Cecep Arif Rahman di The Raid 2. Memang final yang kepagian dan bukan bagian akhir cerita tapi pantas untuk dinantikan!

*Artikel ini pertama kali  muncul di Sportsatu.com, Rabu (23/4).

No comments:

Post a Comment