Monday, 12 November 2012

Kegamangan Spurs

Where I wanna be


"Orang Italia sangat ahli dengan apa yang mereka lakukan. Bahkan ketika seorang Italia menjadi tukang sapu mungkin dia merupakan tukang sapu terbaik di dunia," ingat saya tentang kata-kata ini dari seseorang yang bicara di televisi.

Begitulah kira-kira pendapat orang Eropa sendiri tentang orang Italia. Mereka memang agak aneh, bicara dengan tangan yang bergerak kesana-kesini, tapi harus diakui para pemakan pasta ini menggeluti bidang mereka masing-masing dan menjadi ahli  dalam hal tersebut. The Doctor, begitu sebutannya, ujar Valentino Rossi.

Lalu bagaimana keahlian orang Italia berhubungan dengan sebuah tim di London Utara? Tidak banyak. Kecuali keadaan kontras antara orang Italia dan Gareth Bale. Yang satu memilih suatu keahlian untuk terus diasah hingga kemudian menjadi ahli sedangkan yang lainnya mencoba ini itu hingga akhirnya lupa mengapa dia sempat (entah masih atau tidak) diberi label wonderkid. Semua bermula di malam Liga Champions dimana tim underdog Liga Inggris yang melaju dari babak kualifikasi berhadapan dengan raksasa Italia yang memang seperti sudah menjadi haknya untuk bermain di liga para juara Eropa. Spurs datang ke Giuseppe Meazza, mempertemukan Bale dengan Douglas Maicon.

Malam itu berakhir dengan kemenangan bagi Internazionale tetapi keesokan paginya bukan sebuah kemenangan yang menjadi berita tajuk utama melainkan aksi hattrick dari pemuda Wales membuka mata dunia tentang seorang pemain berbakat, pemain sayap yang mengerti bagaimana memaksimalkan permainan terbuka hingga menghempaskan salah satu bek sayap dunia saat itu, Maicon, seperti memasang mesin V8 di kap mobil VW Beetle, siapa sangka bisa lari begitu cepat.

Jika anda masih ingat malam itu maka tidak salah bila banyak yang bernostalgia dengan kenangan di era 90an saat Ryan Giggs merobek lini perhananan lawan Manchester United di Liga Inggris. Mereka sama-sama bermain di sektor kiri, sama-sama sebagai pemain sayap (walau Bale awalnya sebagai bek), sama-sama warga negara Wales, sayangnya Bale bermain di zaman yang menuntut pemain sayap untuk lebih dari sekedar pemberi umpan—Ya, anda sah untuk menyalahkan Cristiano Ronaldo. Mengacu pada sepak bola saat ini diharuskan untuk menjadi pemain yang lebih all-rounder dibandingkan dengan pemain satu dekade sebelumnya. Bila anda bisa bermain di sayap kiri maka anda harus bisa juga bermain di sayap kanan, seperti Cristiano Ronaldo, tambahkan dengan  kewajiban untuk sanggup melakukan cut inside serta mampu menembak dengan kedua kaki sama kuat, seperti Cristiano Ronaldo (lagi).

Sayangnya Bale bukanlah CR7. Bale lebih seperti Giggs atau Valencia. Singkatnya, Bale bukanlah amphibi, dia tidak hidup di dua sayap. Jadi, bila ingin memaksimalkan peranan Bale tempatkanlah dia di tempat seharusnya. Di musim 2011/2012 dimana Aaron Lennon sempat mengalami cedera dan Bale diberi peranan free-role terkadang di kiri sesekali di kanan. Hasilnya? Kacau. Spurs merosot hingga akhirnya diungguli oleh Arsenal dan karena status Chelsea sebagai penyandang juara Eropa membuat anak asuh ‘Arry Redknapp berpuasa dari jatah pemasukan Liga Champions. Namun di  balik musibah selalu ada hikmah.

Memasuki musim 2012/2013 Andre Villas-Boas menggantikan King ‘Arry. Perlahan tapi pasti mantan staff Mourinho ini menyusun potongan puzzle untuk mengarungi Premier League dengan optimis. Rival Arsenal ini tidak perlu berjibaku di kompetisi level Liga Champions dan memang seharusnya hanya Liga Inggris yang patut mereka perhatikan. Bale kembali menjadi andalan. Matchday 11 EPL. Spurs datang ke Etihad Stadium, mempertemukan Bale dengan Douglas Maicon (sejak pertengahan babak 2).

Oke katakanlah dia tidak benar-benar berhadapan dengan Maicon. Bukan disitu letak vokal masalahnya melainkan bagaimana cara dia memilih perannya untuk membantu tim meraih kemenangan. Bermain menggunakan 4-2-3-1 dimana Emmanuel Adebayor berperan sebagai post player sangat jelas Villas-Boas membatasi daya jelajah timnya. Dari whoscored.com, persentase ball possesion 68% bagi tuan rumah, Spurs lebih senang menunggu untuk melakukan serangan balik mematikan. Tidak begitu kejadiannya. Emmanuel Adebayor tampil sendirian di lini depan. Kerja keras Adebayor mendapatkan rating 6.93 berbandingan dengan rating pria Wales 6.8. Persentase operan Spurs? Hanya 65%. Bila ide awalnya menggunakan kedua sayap sebagai kekuatan utama maka keberhasilan operan Bale dengan 63% dan di sayap kanan Lennon jauh lebih parah hanya 43% ini artinya Adebayor tidak mendapatkan suplai yang diinginkan. Sebagai perbandingan David Silva sebagai MoTM dan kebetulan bermain di sayap memiliki keberhasilan operan 78%. Sayangnya disaat rencana A ini mulai tidak bekerja kemudian Bale mulai menjelajah ke tengah. Gareth Bale merupakan definisi kecepatan di Premier League dan seharusnya daya jelajahnya dibatasi di habitat terbaiknya.

Andai saja Bale bermain selayaknya pemain sayap konservatif.

Saturday, 3 November 2012

That Man, Falcao!

Surely scoring for fun


Cerutu Kolombia, kopi Kolombia, kokain Kolombia.....pesepakbola Kolombia?

Kolombia bukanlah sebuah negara yang antah berantah. Banyak alasan yang membuat Kolombia terkenal. Dari segi geografis saja Kolombia mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi para turis. Bisa dibilang Kolombia ini seperti nasi campur, semua ada. Hutan Amazon masih termasuk menjadi bagian, begitu juga dengan pegunungan Andes dan laut Karibia. Agrikultur negara ini pun terkenal mendunia. Siapa tidak kenal dengan nama besar kopi Kolombia, apalagi cerutu Kolombia yang tampak nikmat, ah jangan lupa juga kokain Kolombia!

Bagaimana dengan persepakbolaannya? Setidaknya mereka pernah juara Copa America satu kali.

Di bagian Amerika Selatan Kolombia bukanlah produsen pemain sepakbola seperti Brazil, Argentina atau Uruguay bukan berarti membuat mereka miskin bakat sepak bola. Sebut saja nama Cordoba dari Inter, si rambut singa Valderrama, bek tua Milan Yepes, Rodallega juga kelahiran Kolombia, siapa yang bisa melupakan Juan Pablo Angel! Lalu ada kisah tragis Andres Escobar dan pemain Kolombia favorit saya, Rene Higuita, the Scorpion Kick. Prestasi sepakbola Kolombia bisa dibilang tidak buruk. Memang mereka pernah menang Copa America di tahun 2001 (dengan catatan) tetapi beberapa kali berhasil kualifikasi masuk Piala Dunia hanya berstatus sebagai tim pelengkap. Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di DNA tubuh timnas Kolombia. 

Dilatih oleh Pekerman, saya ingat manajer ini karena laga Argentina kontra Jerman di PD 2006, laju Kolombia terbilang bagus dengan berhasil menempati posisi ketiga berjarak empat poin dari pemuncak klasemen. Mereka bahkan diatas sensasi PD 2010 lalu,Uruguay, yang kini menjadi tim pesakitan setelah juara Copa America. Tidak sekedar posisi tiga di kualifikasi PD 2014, Kolombia kini bertengger di peringkat 9 FIFA. Sepuluh besar. Di atas Perancis juga Brazil. Siapa lagi jika bukan El Tigre, Radamel Falcao, yang telah mencetak lima gol dari lima partai terakhir Kolombia di kualifikasi Amsel menuju Brazil 2014.

Falcao menjadi pahlawan baru Kolombia. Lupakan nama Valderrama sebagai peraih caps terbanyak atau kiper eksentrik, Higuita. Dengan catatan 15 gol (terbanyak di Kolombia 25) rasanya mungkin-mungkin saja Falcao akan mencatatakan namanya di puncak daftar striker terbaik Kolombia.

Berpindah dari Kolombia menuju Spanyol. Falcao yang kini berbaju merah putih berhasil membawa Atletico Madrid untuk menempel ketat Barcelona. Persaingan Madrid dan Barcelona memang sulit terpisahkan tetapi dengan Madrid yang berbeda, siapa sangka? Atletico Madrid hanya berbeda selisih gol dan belum pernah kalah di La Liga. Sama seperti C.Ronaldo dan Messi, Falcao pun menjadi tulang punggung tim yang mencetak 10 dari 22 gol atau setara 45% gol Atletico Madrid berasal darinya, kaki kanan, kaki kiri, kepala, semua bisa.

Sebelum bermain di salah satu liga utama Eropa, La Liga, Falcao sangat impresif bersama Porto untuk meraih treble mereka. Terkadang saya berpikir faktor Falcao lebih berpengaruh daripada kemampuan taktik dari Andres Villas-Boas yang menjadikan mereka raja di Eropa (kasta dua). Bermain selama tiga musim bersama The Dragons Falcao mempunyai rata-rata 1,2 gol per pertandingan. Ada sedikit cerita bahwa pemain ini hampir saja  berlabuh di Feyenoord bila tidak dicegah oleh River Plate. Dengan bermain di La Liga kini semua orang di dunia bisa melihat gaya permainannya dan memang tidak salah jika dia dianggap sebagai salah satu striker kotak 16 terbaik untuk saat ini.

Kita tunggu dia berlabuh di klub besar, tanpa maksud meremehkan Atletico. Terlebih lagi ketika Chelsea masih merindukan kehadiran Drogba sebagai penggedor utama mereka dan performa Torres belum juga memuaskan kebutuhan gol The Blues. Bagi Falcao permainan cepat nan menguras fisik seperti Premier League tampaknya bukan suatu kendala, lagipula orang inilah yang memupus perlawanan The Blues dari Atletico Madrid di UEFA Super Cup 2012 dengan hattricknya. 

Falcao tukar Torres? Pas.