Saya suka sepak bola, tapi untuk urusan ISL, para pemain-pemain lokal, baru satu dua tahun terakhir ini saya mulai menaruh perhatian lebih banyak.
Berbeda dengan muka-muka para pesepak bola di liga-liga besar Eropa, yang kebanyakan sudah saya hafal sejak berada di bangku SD. Tapi, jangan tanya bila bicara pesepak bola Indonesia. Pemain timnas pun belum tentu saya hafal semua, saat itu.
Sebagai Pamulang born-and-bred saya dekat dengan yang namanya Persita. Kebetulan saya bersekolah tidak jauh dari rumah, masih di daerah Kabupaten Tangerang, dan beberapa dari teman-teman saya lebih dari sekali membawa-bawa syal berwarna ungu kebangaan Viola. Untuk apa? Ya, atribut meramaikan di lapangan. Hiburan bagi mereka sepulang sekolah.
Meski saya tidak mengikuti liga Indonesia, tapi sesekali saya ingin tahu kondisi terkini dari Persita. Dan bila bicara soal Persita, hampir dapat dipastikan kata selanjutnya yang terpikir adalah rival terdekat, Persikota. Sama-sama Tangerang.
Ada dua hal yang masih lekat dalam ingatan saya soal Persikota, Gendut Doni, sang penyerang, dan ejekan dari Persita untuk si "anak kota": "Kuning kuning tai, kuning kuning tai. Kuning, kuning tai..."
Bagaimana saya bisa melupakan seorang pesepak bola yang nama depannya Gendut? Terlebih lagi badannya sama sekali tidak mencerminkan namanya. Itu pun menjadi satu-satunya hal yang saya tahu dari pria kelahiran Salatiga tersebut. Sampai seminggu yang lalu.
Saya mendapat kesempatan untuk mewawancarainya, Gendut Doni. Terima kasih kepada masa-masa magang, sebelumnya saya pernah mewawancarai pemilik restoran, sosok dalam gerakan kepemudaan, bahkan sutradara film pendek, tapi baru sekali saya bertemu tatap muka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada pesepak bola.
Mulai dari berbalas pesan singkat, pendek kata akhirnya momen yang direncanakan pun terwujud.
Betapa jauh panggang dari api ketika Gendut Doni menyapa dengan murah senyum, ia ternyata begitu antusias untuk membagikan cerita-cerita dari pengalamannya dulu sebagai pesepak bola yang pernah membela timnas, setelah kini berstatus PNS di Disperindag Tangerang.
Sekitar satu jam saya menghabiskan waktu, dalam wawancara beberapa kali ia mengeluarkan hp-nya untuk menunjukkan foto-foto lama, bersama Bepe, Kurniawan, semasa lulusan Diklat Salatiga itu menjadi pemain timnas.
Obrolan kami ngalor ngidul, mulai dari bagaimana tanggapannya tentang kegagalan timnas U-19 di Myanmar, kesulitan yang akan dihadapan dari pemain muda saat beranjak menjadi pemain profesional, lalu alasan mengapa ia sangat mudah berganti-ganti klub hingga latar belakang keluarganya dimana Gendut Doni memiliki dua kakak laki-laki yang juga pesepak bola, sekali lagi ia mengeluarkan hp-nya dan mencari foto untuk ditunjukkan. Semua dibahas.
Akan tetapi, ada satu pertanyaan yang begitu mengganjal benak saya dan akhirnya sukses terjawab! Darimana asal nama Gendut Doni. Mengapa pula Gendut?
Ternyata, hal tersebut bukan keinginannya, tentu, bukan juga keinginan orang tuanya, yang ini juga benar, adalah sang kakek yang memberikan kata Gendut di depan namanya.
Mengapa? Kebudayaan Jawa mengajarkan jika seorang anak kerap sakit-sakitan ada baiknya mengubah, secara keseluruhan atau dalam hal Doni menambahkan namanya, sehingga nasib baik mendatangi si anak dan mengusir aura buruk.
"Dulunya aku sering sakit-sakitan pas kecil, aku punya kayak asma terus paru-paru basah juga. Terus sama kakek....disuruh ganti nama. Terus dikasih nama itu, gendut. Gendut. Ditambahin Gendut," dengan nada yang menyiratkan ia juga bingung inspirasi sang kakek darimana datangnya.
Namun demikian, Gendut Doni turut bersyukur. Ia menganggap namanya benar-benar sebagai pembawa keberuntungan. Mulai dari kesembuhan penyakitnya, kemudahannya mencari klub di liga Indonesia dan terpanggil untuk membela timnas, baginya dikarenakan pengaruh dari "kegendutan"-nya.
Berbeda dengan muka-muka para pesepak bola di liga-liga besar Eropa, yang kebanyakan sudah saya hafal sejak berada di bangku SD. Tapi, jangan tanya bila bicara pesepak bola Indonesia. Pemain timnas pun belum tentu saya hafal semua, saat itu.
Sebagai Pamulang born-and-bred saya dekat dengan yang namanya Persita. Kebetulan saya bersekolah tidak jauh dari rumah, masih di daerah Kabupaten Tangerang, dan beberapa dari teman-teman saya lebih dari sekali membawa-bawa syal berwarna ungu kebangaan Viola. Untuk apa? Ya, atribut meramaikan di lapangan. Hiburan bagi mereka sepulang sekolah.
Meski saya tidak mengikuti liga Indonesia, tapi sesekali saya ingin tahu kondisi terkini dari Persita. Dan bila bicara soal Persita, hampir dapat dipastikan kata selanjutnya yang terpikir adalah rival terdekat, Persikota. Sama-sama Tangerang.
Ada dua hal yang masih lekat dalam ingatan saya soal Persikota, Gendut Doni, sang penyerang, dan ejekan dari Persita untuk si "anak kota": "Kuning kuning tai, kuning kuning tai. Kuning, kuning tai..."
Bagaimana saya bisa melupakan seorang pesepak bola yang nama depannya Gendut? Terlebih lagi badannya sama sekali tidak mencerminkan namanya. Itu pun menjadi satu-satunya hal yang saya tahu dari pria kelahiran Salatiga tersebut. Sampai seminggu yang lalu.
Saya mendapat kesempatan untuk mewawancarainya, Gendut Doni. Terima kasih kepada masa-masa magang, sebelumnya saya pernah mewawancarai pemilik restoran, sosok dalam gerakan kepemudaan, bahkan sutradara film pendek, tapi baru sekali saya bertemu tatap muka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada pesepak bola.
Mulai dari berbalas pesan singkat, pendek kata akhirnya momen yang direncanakan pun terwujud.
Betapa jauh panggang dari api ketika Gendut Doni menyapa dengan murah senyum, ia ternyata begitu antusias untuk membagikan cerita-cerita dari pengalamannya dulu sebagai pesepak bola yang pernah membela timnas, setelah kini berstatus PNS di Disperindag Tangerang.
Sekitar satu jam saya menghabiskan waktu, dalam wawancara beberapa kali ia mengeluarkan hp-nya untuk menunjukkan foto-foto lama, bersama Bepe, Kurniawan, semasa lulusan Diklat Salatiga itu menjadi pemain timnas.
Obrolan kami ngalor ngidul, mulai dari bagaimana tanggapannya tentang kegagalan timnas U-19 di Myanmar, kesulitan yang akan dihadapan dari pemain muda saat beranjak menjadi pemain profesional, lalu alasan mengapa ia sangat mudah berganti-ganti klub hingga latar belakang keluarganya dimana Gendut Doni memiliki dua kakak laki-laki yang juga pesepak bola, sekali lagi ia mengeluarkan hp-nya dan mencari foto untuk ditunjukkan. Semua dibahas.
Akan tetapi, ada satu pertanyaan yang begitu mengganjal benak saya dan akhirnya sukses terjawab! Darimana asal nama Gendut Doni. Mengapa pula Gendut?
Ternyata, hal tersebut bukan keinginannya, tentu, bukan juga keinginan orang tuanya, yang ini juga benar, adalah sang kakek yang memberikan kata Gendut di depan namanya.
Mengapa? Kebudayaan Jawa mengajarkan jika seorang anak kerap sakit-sakitan ada baiknya mengubah, secara keseluruhan atau dalam hal Doni menambahkan namanya, sehingga nasib baik mendatangi si anak dan mengusir aura buruk.
"Dulunya aku sering sakit-sakitan pas kecil, aku punya kayak asma terus paru-paru basah juga. Terus sama kakek....disuruh ganti nama. Terus dikasih nama itu, gendut. Gendut. Ditambahin Gendut," dengan nada yang menyiratkan ia juga bingung inspirasi sang kakek darimana datangnya.
Namun demikian, Gendut Doni turut bersyukur. Ia menganggap namanya benar-benar sebagai pembawa keberuntungan. Mulai dari kesembuhan penyakitnya, kemudahannya mencari klub di liga Indonesia dan terpanggil untuk membela timnas, baginya dikarenakan pengaruh dari "kegendutan"-nya.
"Bawa hoki," ujarnya.
Memang, namanya juga Indonesia, banyak hal-hal ajaib di sini. Ajaib, untuk namanya Gendut Doni. Ajaib, untuk si kakek yang terpikir memberi nama Gendut. Kini, si cucu, setelah gantung sepatu, pun benar-benar jadi gendut.
No comments:
Post a Comment