Untuk Indonesia dari Indonesia |
Dua tahun yang lalu.
Okto Maniani
memang tidak terkenal dengan akurasi umpannya namun kala itu dia berhasil
memberikan Irfan Bachdim bola matang di depan gawang Malaysia yang membuat nama
pemain keturunan Belanda tersebut meroket. Ulangan gol itu sudah sangat sering
kita lihat di televisi, biasanya ditemani lagu "Garuda Di Dadaku"
dari Netral.
Pertandingan
berakhir dengan skor akhir Indonesia menang 5-1 dari Malaysia. Lalu semua
media, bahkan program infotainment yang biasanya memberitakan gosip murahan,
mengarahkan lampu sorotnya kepada timnas. Berulang-ulang kali gol Irfan Bachdim
diputar,diputar lagi, lagi, lagi, lagi, lagi...pusing.
Masih ada yang
ingat bagaimana pemain naturalisasi ini menjadi trending topic kemudian
makin sering lalu lalang di layar televisi kita? Pasti ingat, apakah ada yang
ingat media kita memberitakan perilaku suporter kita yang menyoraki lagu
kebangsaan Malaysia? Jangan heran bila anda tidak ingat, memang tidak pernah
ada berita semacam itu.
Kejadian ini
terjadi tepat dua tahun yang lalu. Jauh-jauh hari saya menandai hari itu.
Maklum kuliah di Bandung jadi harus sedikit usaha untuk ke stadion utama.
Berbeda dengan sekarang, saat itu stadion tidak penuh. Ramai tapi tidak penuh.
Tiket pun masih mudah didapat. berita di media juga biasa saja. Ada beberapa
penonton yang mendukung Malaysia, bukan ultras, kemungkinan besar penonton
kerah biru. Kemudian kedua tim memasuki lapangan dan lagu kebangsaan pun
dikumandangkan. "Boooooooo.....", begitu teriak pendukung Merah Putih
ketika "Negaraku" terdengar. Saya rasa sebagian besar orang
melakukannya, mungkin mereka tidak merasa ada yang salah atau mungkin saja
mereka tidak peduli lagi apakah tindakan mereka salah atau benar yang penting dukung,
titik.
Lagu kebangsaan
merupakan sebuah ritual yang sakral dalam sepak bola, tidak seharusnya mendapat
perlakuan seperti itu. Di negara asalnya sepak bola mendapat julukan
sebagai gentlemen's game dan
saling menghargai atau respect menjadi kata yang paling akrab
dengannya. Keesokan harinya sama sekali tidak ada kontroversi mengenai hal ini.
Pihak Malaysia tidak melayangkan protes resmi.
Dua tahun
kemudian.
Pertandingan pertama Indonesia melawan Laos. Menit-menit awal sang Garuda lebih menguasai pertandingan yang bila Irfan Bachdim lebih tenang mungkin dengan mudah bisa unggul 2 gol. Andik Vermansyah tampil hebat membuat bek kiri Laos kelimpungan karena tidak mampu menyamai akselerasi pemain berumur 21 tahun tersebut. Kita semua tahu apa yang terjadi selanjutnya.
Setelah pertandingan berakhir kemudian muncul kabar yang menarik perhatian pemerhati sepak bola Indonesia. Sekelompok kecil yang mengaku sebagai Ultras Malaya mengunggah video
berisi lagu yang liriknya kurang enak didengar. “Indonesia itu anjing”, kata
mereka. KBRI sendiri masih mencari tahu tanggal kejadian peritiwa tersebut. Sebuah santapan bagi media dan masyarakat kita juga kecanduan terhadap
provokasi seperti ini. Tanggapan masyarakat yang panas ditambah sikap KBRI yang
berlebihan agaknya menjadi lucu ketika mengingat apa yang kita lakukan dua
tahun yang lalu.
Saya coba menjadi obyektif disini, kita
bilang harga diri bangsa kita diinjak tapi, bung, ini sepak bola tolonglah
jangan terlalu serius. Apalagi jika kita menggeneralisasi sebagian kecil
kelompok tersebut. Sebegitu tercampurkah sepak bola kita dengan politik
sehingga kita lupa caranya bersenang-senang dalam stadion?
Sebagai negara penonton sepak bola seharusnya tidak asing dengan chant-chant miring yang berseliweran dalam stadion. Suporter Premier League yang nun jauh di sana menjadi "teladan" bagi para couch potato macam kita ini juga melakukan hal yang sama. Terlebih lagi bagi para suporter kafe saya yakin sudah terbiasa adu chant atau jangan-jangan sikap kita memang biasa saja dan semua reaksi panas masyarakat terhadap aksi Ultras Malaya ini lebih karena pembentukan dari media? Mungkin saja, sangat mungkin.
Sebagai negara penonton sepak bola seharusnya tidak asing dengan chant-chant miring yang berseliweran dalam stadion. Suporter Premier League yang nun jauh di sana menjadi "teladan" bagi para couch potato macam kita ini juga melakukan hal yang sama. Terlebih lagi bagi para suporter kafe saya yakin sudah terbiasa adu chant atau jangan-jangan sikap kita memang biasa saja dan semua reaksi panas masyarakat terhadap aksi Ultras Malaya ini lebih karena pembentukan dari media? Mungkin saja, sangat mungkin.
Dua tahun sudah saya menunggu AFF, terserah apa kata KBRI atau PSSI atau media atau si kumis itu, saya hanya ingin menikmati sepak bola. Semoga Timnas meraih hasil yang terbaik!
No comments:
Post a Comment