Wednesday, 6 June 2012

Menuju Timur



Saya masih ingat bagaimana empat tahun telah berlalu sejak Phillip Lahm gagal menghentikan laju si no.9 dari Liverpool dan sontekan sederhananya berhasil memperdayai Jens Lehmann kala itu. Kira-kira seperti itulah gambaran terciptanya gol tunggal Fernando Torres pada titik klimaks Euro 2008 yang mengantarkan Spanyol ke tahta tertinggi Eropa dan momen dimana saya harus merelakan hilangnya 50 ribu rupiah dari kantong saya.

Seiring berjalannya waktu banyak hal terjadi sejak 2008 silam pada pemegang titel Eropa tersebut, seperti yang kita ketahui Spanyol--serta Barcelona dan Real Madrid--kemudian mendominasi sepakbola dunia dengan permainan tiki taka mereka , El Classico tidak ubahnya menjadi hiburan yang menyajikan drama opera sabun dan sang pahlawan saat itu kembali menorehkan namanya sebagai penguasa Eropa terbaru di level klub, bersama Chelsea.

Kini pesta sepakbola Eropa tersebut digelar kembali di dua negara eks-komunis, Polandia dan Ukraina. Sebagai penggemar sepakbola kita memang lebih akrab dengan negara-negara Eropa barat, tidak salah jika merasa asing dengan kedua negara ini. Selain dari menyebutkan nama Lewandowski atau Shevchenko, siapa yang bisa menyebutkan susunan timnas Polandia atau Ukraina lengkap mulai dari kiper hingga penyerang? Lain halnya jika yang ditanya mengenai Spanyol atau Inggris, namun bukan berarti mereka dipastikan akan merasakan nasib seperti Swiss-Austria.

Entah mengapa walau sebagai tuan rumah seringkali dianggap "telat panas" karena tim lain mengawali kompetisi jauh sejak kualifikasi tetapi ada rasa untuk melihat kedua tuan rumah yang dianggap underdog ini melangkah lebih jauh dari sekedar penghuni grup. 

Setidaknya hal itu pernah terjadi pada tingkatan Europa League dimana tim seperti Zenit St.Petersburg atau Shakhtar Donetsk menjadi kampiun. Untuk Zenit sendiri justru menjadi lebih manis karena mengalahkan Bayern Munich dalam perjalanannya menjadi juara 2007/2008. Bukan suatu hal yang tidak mungkin saat melihat sejarah terkadang nasib baik berlaku pada tim-tim underdog seperti Korea di PD 2002 atau dalam kasus Eropa seperti Denmark, Cekoslovakia, bahkan Yunani. Walau memang unggulan-unggulan dari bagian barat diprediksi media tetap mendominasi di timur Eropa.

Menyinggung tentang persaingan Eropa barat dan timur mengingatkan saya tentang keadaan krisis ekonomi global yang sedang terpuruk. Kita tahu perbedaan keduanya begitu besar karena paham komunis yang lama mengekang negara-negara Eropa timur namun jangan salah kini mereka seperti Polandia dan Ukraina berani unjuk gigi justru Eropa barat yang sedang kelimpungan dengan urusan ekonomi mereka. Tanyakan saja pada warga Yunani bagaimana sulitnya mereka untuk mencari pekerjaan.

Kedua negara di Eropa timur yang telah lama berada dalam kendali tirai besi kini diberikan kesempatan untuk menjamu negara-negara Eropa lain untuk memperebutkan trofi Henry Delaunay. Total terdapat 16 tim yang bersaing dan terbagi ke dalam 4 grup. 

Bagaimana kans mereka melaju ke tahap selanjutnya? Dan tentunya siapa yang akan menjadi pemain muda yang bersinar kali ini?  

Saturday, 21 April 2012

Magpies, Selangkah Menuju Eropa

Twin headed spear

Bagi para penggemar EPL tentu tidak salah jika pada awal musim mengatakan Spurs akan kembali bersaing ketat dengan Arsenal, Chelsea dan Liverpool untuk mendapatkan tiket ke Eropa. Setiap orang boleh mengatakan prediksi masing-masing namun kenyataan terkdang berjalan berbeda. Spurs yang sempat bertahan di posisi ketiga dan mengendus MU hingga berbeda 5 poin ternyata tidak dapat mempertahankan penampilan terbaik mereka.

Tentu kita semua tahu posisi satu dan dua milik kota Manchester. Hal ini menyisakan dua tiket lagi bagi klub Inggris untuk berlaga di Eropa. Bagi Arsenal meskipun pada awal musim sempat tertatih namun berkat etos RVP yang tidak kenal lelah dan permainan brilian Rosicky yang telah lama dinantikan publik Emirates membuat mereka kandidat terkuat selain duo Manchester untuk meraih tiket UCL.

Sisanya, King Kenny tampak tidak dapat membawa Liverpool pada form akhir musim lalu hingga mereka kini terdampar jauh dari zona UCL. Chelsea dengan manajer muda asal Portugal mereka tampak bermain setengah hati--walau hal itu berubah sejak Di Matteo mengambil alih--Spurs pun sebelas dua belas, ketergantungan terhadap Bale hingga menempatkan dia agak terlalu kedalam justru membuatnya tidak tampil maksimal. Tapi siapa sangka, pasukan Alan Pardew tampil sebagai kuda hitam mengejutkan pesaing mereka untuk mengambil alih tiket terakhir tersebut.

The Magpies yang sempat merasakan turun kasta selama semusim ke Divisi Championship pada tahun 2009 memiliki komposisi pemain yang unik. Tidak ada pemain yang benar-benar menjadi bintang menjadikan mereka saling mengisi kekurangan Newcastle sebagai sebuah tim. Pemain yang mengerti betul bagaimana berperan dalam posisi masing-masing hingga membuat kesatuan yang solid.

Krul berhasil menggantikan posisi kiper andalan sepeninggal Shay Given, begitu juga dengan Santon yang kian mantap membuat Toon Army lupa dengan Jose Enrique. Coloccini pun tampil memenuhi ekspektasi publik St. James Park atau kini dikenal dengan Sports Direct Arena sebagai kapten tim kebanggaan mereka. Lini tengah dengan kombinasi Cabaye-Tiote sebagai creator-breaker mampu menjalankan skema permainan yang diinginkan.

Hal menarik terjadi pada ujung tombak Newcastle. Jika pada awal musim Demba Ba menjadi momok mengerikan bagi bek lawan namun melempem saat memasuki tahun 2012, maka sejak paruh kedua musim ada Papiss Cisse yang tampil sempurna sejak kepindahannya dari Freiburg pada transfer window musim dingin tersebut dan dua striker ini ditopang oleh Ameobi yang selalu siap dari bangku cadangan.

Faktor terakhir dan mungkin menjadi paling penting, Ben Arfa.  Kembali dari cedera panjang musim lalu kini permainan jebolan Clairefontaine dan eks-Lyon tersebut kian menanjak. Terbukti dirinya mampu memimpin inisiatif penyerangan Newcastle dengan goal solo-run menakjubkan ke gawang Blackburn dan Bolton.

Memang Liga Inggris belum selesai namun jika Tottenham tidak bisa bangkit dari keterpurukan dan Newcastle mampu mempertahankan form seperti sekarang jalan menuju Eropa sudah tampak di depan mata. Suporter Newcastle yang merindukan masa kejayaan mereka sejak era Alan Shearer dapat kembali tersenyum mengingat indahnya kenangan bersama topskorer sepanjang masa mereka dahulu. Siap menuju Eropa, Newcastle?

Thursday, 19 April 2012

Mourinho Untuk Mancio?


Manchester City kini berada dalam kesempatan paling besar mereka untuk mengalahkan rival se-kota mereka, Manchester United, dalam perburuan titel EPL. Tertinggal hanya 5 poin dari pemimpin klasemen sementara tentu bukan hal yang tidak mungkin bagi mereka menjadi juara, terlebih lagi masih ada laga pamungkas antara City dan United yang diperkirakan menjadi laga penentu juara EPL musim ini.

Mungkin akhirnya mereka juara mungkin juga tidak, saat ini hanya Tuhan dan dewa sepakbola yang mengetahui jawabannya. Namun, bagaimana jika Mancini gagal? Polemik tentang keberadaannya di kota Manchester musim depan sedang ramai diprediksi banyak pihak. Pasalnya kita telah melihat apa yang terjadi pada Chelsea dibawah kendali Abramovich. Dahaga prestasi taipan minyak Rusia tersebut sangat sulit terpuaskan dan kita dapat melihat Chelsea kini selalu berganti manajer hampir setiap musim.

Haruskah Sheikh Mansour melakukan hal yang sama? Sebenarnya musim 2011/2012 tidak buruk bagi Kompany cs. Mereka menjadi tim paling produktif sekaligus paling sedikit kebobolan. Sebuah catatan yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Mancini yang pada musim-musim sebelumnya dinilai bermain terlalu defensif oleh pers Inggris kini berani bermain menyerang bahkan mampu mengandaskan MU dengan skor 1-6. Meski begitu mereka tetap gagal memimpin klasemen sementara EPL 2011/2012.

Masalah City bukan terletak pada kemampuan pemain mereka mengolah bola atau taktik yang harus dijalankan oleh anak asuh Mancini. Sepakbola adalah olahraga tim yang bermain dengan 11 pemain. Dibutuhkan keharmonisan didalamnya dan hal itu yang membedakan bagian biru kota Manchester dengan bagian merahnya.

Siapa lagi jika bukan yang menjadi penyebab keretakan tersebut selain Balotelli. Pemain Italia berdarah Ghana ini telah berulang-ulang kali menjadi biang keladi tanpa menunjukkan dirinya akan berubah dalam waktu dekat. Jika ada yang harus didepak dari City musim depan lebih baik orang itu adalah Balotelli. Ada baiknya skuad yang telah dibangun oleh Mancini tetap dipimpin oleh pria kelahiran Ancona tersebut, kecuali Real Madrid menjadi kampiun UCL di Allianz Arena dan Mourinho mencari tantangan baru di EPL!

Sunday, 15 April 2012

Sensasi Dari Indonesia

Calon Bintang Indonesia
“Mungkin saya perlu jadi pemain bola untuk bisa menjadi WNI,” ujar Chanee. Sudah 14 tahun dia berangkat dari negara asalnya, Perancis, untuk mengabdikan dirinya dalam konservasi primata kecil berhabitat di dalam hutan belantara Kalimantan yang dikenal dengan sebutan Owa. Tidak banyak memang yang mengenal Chanee Brule namun keluhan betapa sulitnya untuk menjadi WNI tersebut yang pertama kali saya dengar saat menghadiri salah satu program di studio Kick Andy dan hingga kini masih melekat dalam ingatan.

Bukan tentang Chanee yang tiba-tiba banting setir menjadi pemain sepakbola tapi ada sebuah catatan disana bahwa pemain sepakbola yang lebih banyak disorot media menjadi warga asing yang digolongkan lebih beruntung dibandingkan dengan warga asing macam Chanee yang perjuangannya terbilang low profile.

Hubungan antara media,sepakbola dan masyarakat Indonesia memang saling bersinergi.Tampaknya jika anda merupakan orang yang sering mondar-mandir di depan televisi, segala hal menjadi mudah bagi anda. Hal itu yang terjadi pada Igbonefo dan Nwokolo, berbanding terbalik dengan Chanee para pemain naturalisasi ini mendapatkan paspor Indonesia dengan jalan lowong seperti kondisi Jakarta saat lebaran.

Media Indonesia sangat senang membuat berita yang asal-usulnya tidak jelas, terlebih jika berhubungan dengan sepakbola yang menjadi konsumsi banyak masyarakat sepakbola akan mereka sikat. Foto yang disangka Diego Michels dan Nikita Willy pun sempat naik terdengar walau terbukti tidak benar.

Kali ini pun begitu. Setelah dahulu sempat membesar-besarkan berita perjalanan punggawa timnas mencapai  final pada SEA Games 2011 dan AFF Cup 2010--bahkan sempat dianggap menjadi salah satu faktor gagal juara--kini media kembali membuat sensasi dari dunia sepakbola Indonesia.

Kali ini sensasi berita tersebut berasal dari bocah berumur 7 tahun asli Indonesia, Tristan Alif Naufal, bakatnya yang diunggah di Youtube menjadi buah bibir yang hangat dibicarakan oleh para masyarakat Republik Sepakbola Indonesia yang begitu mengharapkan sebuah keajaiban untuk singgah di negeri ini dan membawa prestasi bersamanya.

Video Tristan yang menampilkan kepiawaiannya dalam mengolah bola dan mengelabui pemain lawan diiringi dengan musik bertema nasionalis dari Coklat membuat harapan para suporter timnas membumbung tinggi. Tristan yang baru seumur jagung bahkan telah menjadi bintang tamu pada salah satu program televisi Indonesia hingga dilabeli “The New Messi”. Hebohnya video ini bahkan membuat Tristan masuk dalam sebuah artikel di website resmi Liverpool FC.

Tentu tidak salah dengan memiliki rasa bangga terhadap bakat anak bangsa Indonesia. Namun, perlu disadari sepakbola bukanlah olahraga instan. Sepakbola perlu pengasahan bakat yang terus menerus dan kerja keras untuk menjadi pemain sepakbola kelas dunia. Tristan tidak perlu blow up media toh proses menjadi pemain sepakbola bukan seperti menjadi boyband tetapi dia membutuhkan dukungan baik dari orang tua dan segenap pihak yang peduli bukan hanya pada bakat Tristan tapi juga semua generasi muda sepakbola negeri ini.

Pengakuan media tidak akan membawanya kemana-mana dan PSSI pun tidak bisa berdiam diri melihat bakat sebesar Tristan tersia-siakan. Hadirnya Tristan di tengah kisruh PSSI seperti petunjuk dari Tuhan yang memberikan jalan kepada Indonesia. Bahwa sebetulnya Indonesia tidak perlu pusing siapa yang pantas untuk memimpin Indonesia menjadi lebih baik dalam dunia sepakbola. Indonesia, PSSI terlebih lagi, ditunjukkan bahwa masa depan sepakbola Indonesia bukan di tangan para pemimpin organisasi sepakbola terbesar negeri ini melainkan pada bakat tunas muda Garuda.

Pupuk bakat mereka, komitmen untuk merawatnya, bersabar pada proses dan terus mendukung hingga akhirnya kita sendiri yang akan menuai hasil dengan senyum. Kini tampaknya para petinggi PSSI mudah lupa dengan janji akan pembinaan usia muda disertai fasilitas memadai atau liga dengan usia berjangka. Sayang jika ada Tristan kecil lain di luar sana yang mungkin bakatnya tidak terlihat oleh media hingga terbuang begitu saja.

Wednesday, 6 April 2011

Panyee FC

Antara sepakbola dan segala keterbatasannya dengan mimpi untuk menjadi yang terbaik.


Post sebelumnya:
http://degradablethoughts.blogspot.com/2011/04/panyee-fc.html

Friday, 21 January 2011

Bushido - The Way of The (Blue) Samurai


Fulltime: Jepang 3 - 2 Qatar
(komentator Arabnya kelewat berisik)

Bushido, kode etik yang digunakan sebagai pedoman bagi samurai dalam menjalani hidupnya. Dalam bushido, seorang samurai sudah seharusnya bersikap ksatria. Rela berjuang sampai titik darah penghabisan demi negara bahkan jika itu berarti mati. Dalam dunia modern samurai hanya tinggal cerita sejarah kini samurai yang ada hanyalah julukan bagi timnas sepakbola Jepang, meski begitu jiwa samurai yang ada dalam kesebelasan timnas Jepang tidak kalah hebatnya dengan leluhur mereka terdahulu.

Pertandingan perempat final AFC Cup semalam ngga gue kira akan menjadi sangat dramatis. Jepang melawan Qatar. Oke, di atas kertas Jepang unggul kualitas permainan dibandingkan dengan lawannya Qatar, yang merupakan tuan rumah. Meskipun faktor dukungan tuan rumah udah gue perhitungkan tetap jauh kualitas antara Jepang dan Qatar ini. Easy win istilahnya. Tetapi ternyata sepakbola itu ngga bisa ditebak hasil akhirnya. Kesalahan lini belakang Jepang dalam memasang jebakan offside ditambah dengan goalkeeping error dari Kawashima membuat Qatar unggul 0 - 1. Damn. Kontroversial nih, seluruh pemain jepang hingga staff mempertanyakan keputusan wasit. Ternyata setelah diputar bagaimana proses gol yang dicetak oleh Sebastian Suria tidak offside, keterlambatan Inoha dalam menarik garis offside yang membuat striker Qatar itu dalam posisi onside.
Tipis.

Kebiasaan buruk dari tim unggulan yang terlalu santai bermain. Untungnya Jepang tidak panik dan bermain seperti biasanya. Mampu mengendalikan ritme permainan dengan operan satu duanya yang cepat. Tidak lama, umpan dari Honda mampu diteruskan dengan baik oleh Okazaki (yang menurut gue striker paling berbakat di AFC Cup kali ini) yang berhasil memperdayai kiper Qatar sama dengan cara dia melalukan gol pertama ke gawang Arab Saudi dan diselesaikan dengan sundulan Shinji Kagawa
. Yes !! 1-1. Ini seru nih, Jepang berhasil comeback dan kayaknya babak kedua bakal santai. Sampai halftime skor tetap bertahan 1-1.

Priiitt!! Kick-off babak kedua. Baru berjalan beberapa menit Yoshida, bek tengah dari Jepang mendapat kartu kuning untuk foulnya yang sebenarnya biasa saja. Ini wasit untungnya ngga memimpin pertandingan di ISL, bisa kena kartu merah semua. Agak berat sebelah memang kepemimpinan wasit pertandingan kali ini. Mulai memasuki menit ke 60 Yoshida lagi-lagi melakukan pelanggaran dan kartu kuning kedua. Gue kayak "tailah, dejavu gini". Sama seperti pertandingan kedua di grup melawan Suriah, dimana setelah berada diatas angin Jepang kembali mendapati keputusan wasit yang merugikan. Tendangan bebas kemudian diambil oleh Fabio Cesar dan untuk kedua kalinya Kawashima melakukan kesalahan. Anjir, lengkap banget. Kartu merah dan langsung tertinggal 2 - 1 akibat kesalahan antisipasi kiper. (timnas Qatar banyak pemain "sewaan". Cemen.)

Nah, menurut gue setelah unggul pemain dan skor, Qatar justru melakukan kesalahan fatal. Mereka memasang defensive line yang terlalu dalam dan membiarkan Jepang "mengambil nafas". Jika ada yang ingat bagaimana Barcelona yang menang dari Chelsea di Stamford Bridge pada tahun 2008/2009 dengan 10 orang dan tendangan terakhir dari Iniesta yang dramatis. Aura pertandingan ini pun sama seperti itu. Untuk kedua kalinya Shinji Kagawa, rising star Bundesliga ini berhasil menjebol gawang Qatar. Yes,adrenaline rush!! seru abis. Setelah gol kedua itu gue kira Jepang akan memilih bertahan setelah berhasil menyamakan skor. Ternyata tidak, terlihat Hasebe, Honda dan Kagawa sering melakukan pressing ke daerah pertahanan Qatar. Gila.

Dan saat mulai memasuki menit-menit akhir pertandingan Jepang justru berhasil membalikkan keadaan. Kagawa hampir berhasil melakukan hattrick setelah berhasil membawa bola melewati kiper Qatar sayangnya dia ditackle oleh pemain belakang Qatar (seharusnya minimal diberikan kartu kuning) dan bola jatuh di kaki Inoha yang tanpa pikir panjang mencetak gol kemenangan bagi negaranya. Inoha membuat pendukung tuan rumah terdiam. Jepang berhasil menang dengan 10 orang dalam 30 menit terakhir. Nice game, excellent game for Zaccheroni's. Thats how football should be played. Thats bushido, the way of the samurai. Never give up. Keep going until the last whistle. Applause for Japanese, after final minute equalizer goal against Jordan then 2-1 win against Suriah with 10 men and still they fought so hard to get this dramatic win against the host. What a game. I wonder, when Indonesia will be like this..


Post sebelumnya:
http://degradablethoughts.blogspot.com/2011/01/bushido-way-of-blue-samurai.html

Sunday, 12 December 2010

Derby di Milano

Sebagai penggemar sepakbola dan pendukung Manchester United saya tidak hanya menonton pertandingan tim yang saya dukung tetapi juga mencari pertandingan seru yang bisa dinikmati, anda akan mengerti apa yang saya maksud dengan "pertandingan yang bisa dinikmati" saat anda bisa menikmati pertandingan bukan hanya saat mendukung tim favorit anda tetapi bagaimana anda bisa menjadi penonton yang netral dan menilai cara bermain kedua tim yang sedang bertanding tersebut. Menurut saya saat yang menyenangkan untuk menjadi penonton netral salah satunya dengan menyaksikan pertandingan derby.

Pertandingan derby merupakan pertandingan antar tim yang berasal dari kota yang sama. Pertandingan derby biasanya memiliki aura pertandingan yang berbeda dengan aura pertandingan antar klub besar untuk memenangi trophi juara. Pertandingan yang sarat emosi bukan karena prestasi yang diperebutkan tetapi lebih karena gengsi untuk membuktikan kepada bagian lain dari kota tersebut bahwa merekalah yang lebih baik. Dalam derby kesempatan menang terbuka bagi kedua tim terlepas dari performa mereka pada saat itu, seperti pada Derby della Capitale (07 November 2010) dimana A.S. Roma berjuang seperti tim pesakitan untuk menempati posisi medioker dan Lazio berada di papan atas. Diatas kertas seharusnya Lazio yang sedang on-form dapat menang mudah tetapi aura derby seperti yang saya katakan memiliki aura yang berbeda dan semua data pertandingan belum tentu bisa memprediksi hasil akhir. Malam itu kenyataannya Boriello dan Vucinic menjadi pahlawan bagi tiffossi Il Lupi. 2 - 0 untuk A.S. roma. Saya bukan tiffossi Serie A tetapi justru karena itulah saya bisa dengan tenangnya menonton derby Serie A apakah itu sebagai fans Roma, Lazio, Inter, Milan atau klub lain. Mungkin anda dengan mudahnya mengatakan saya glory hunter, itu hak anda untuk berpendapat tetapi yang saya lakukan bukanlah mendukung tim pemenang toh seperti yang saya katakan diatas bahwa saya dalam tahapan dimana saya bisa menikmati pertandingan bahkan jika pertandingan itu bukan pertandingan tim yang saya dukung. Jika pada akhirnya tim yang saya jagokan selalu menang ya mau bagaimana lagi :p (menjagokan dan mendukung itu punya arti yang beda loh menurut saya).

Merah - Biru kota Milan
Derby yang ingin saya tulis kali ini dikenal dengan nama derby della Madonnina atau juga sebagai derby Milan. Derby antara kedua tim besar dari Italia, F.C. Intermilan (18 scudetto) dan A.C. Milan (17 scudetto). Saya pernah menyaksikan derby ini sebagai Interisti ataupun Milanisti, harus saya akui Milanisti lebih "gila". Baru pertama kalinya saya nonbar dan lihat ada suporter kafe yang membawa toa adalah saat saya nonbar bersama Milanisti Bandung. Chanting dengan bahasa Italia juga memberikan rasa tersendiri ditambah dengan hiasan bendera Milan yang besarnya menyaingi layar proyektor. Selain itu saya kira sama, baik Interisti atau Milanisti sama - sama rusuh, mungkin khusus untuk kata rusuh memang mendarah daging untuk semua suporter Indonesia.

Asal kata Madonnina merupakan panggilan masyarakat setempat untuk patung Virgin Mary yang berada di puncak Katedral Milan, salah satu trademark untuk kota Milan. Bagi warga Milan tempat tersebut merupakan tempat yang sakral dari segi rohani dan seperti yang kita ketahui dimana sepakbola menjadi sebuah "kepercayaan" di negeri Italia maka tidak berlebihan jika memberi nama derby ini della Madonnina, derby yang secara etimologis menganalogikan bahwa siapapun yang memenangkan derby tersebut menandakan merekalah yang berada di puncak kota Milan.

Untuk mereka yang belum akrab dengan sepakbola jangan bingung mengenai tempat dilangsungkannya derby della Madonnina karena memang A.C. Milan dan Intermilan menggunakan stadion yang sama namun dengan nama yang berbeda. Bagi suporter Intermilan stadion ini diberi nama Guiseppe Meazza untuk menghormati jasa mantan pemainnya, hal ini juga yang membuat suporter A.C. Milan enggan menyebut stadion tersebut dengan nama yang sama mengingat nama itu adalah mantan pemain Intermilan sehingga kemudian memberi nama San Siro. Saat dilangsungkan derby para suporter membagi diri mereka menjadi dua bagian, yaitu curva nord (inter/utara) dan curva sud (milan/selatan).



Sejarah Awal
Cerita tentang lahirnya persaingan antara kedua klub ini bermula pada tanggal 16 Desember 1899 dimana waktu itu hanya ada Klub Kriket dan Sepakbola Milan yang didirikan oleh Alfred Edwards. Saat itu Alfred Edwards menjadi presiden dari Klub Kriket dan Sepakbola Milan. Dibantu oleh Herbert Kilpin yang menjadi kapten klub sepakbola. Tim tersebut kemudian memenangkan liga nasional pada tahun 1901, 1906 dan 1907. Di tanggal 9 Maret 1908, perselisihan mengenai dominasi pemain Italia dan Inggris di klub A.C. Milan menyebabkan sekumpulan orang - orang Italia dan Swiss memecahkan diri dari A.C. Milan untuk membentuk klubnya sendiri. Nama Internazionale diambil karena pendirinya ingin membuat satu klub yang terdiri dari banyak pemain dari negara - negara luar. Pada era itu, Inter identik dengan kaum borjuis sedangkan Milan dengan kelas pekerjanya. Ternyata selain berbeda visi, suporter kedua tim juga memiliki perbedaan stratifikasi sosial yang menjadi alasan mengapa persaingan kedua klub kota Milan ini begitu "panas".
Era Mazzola dan Rivera
Pada era 60an derby Milan diwakili oleh dua nama besar pemain timnas Italia, yaitu Sandro Mazzola di kubu Inter milan dan Gianni Rivera di kubu A.C. Milan. Persaingan kedua pemain ini berimbas juga kepada rivalitas kedua tim yang saat itu saling bergantian merebut Piala Eropa. Persaingan kedua pemain juga berlanjut di dalam timnas Italia dimana mereka berdua jarang dimainkan pada saat yang bersamaan.
Era Trio Belanda dan Jerman
Memasuki era akhir 80an hingga awal 90an A.C. Milan diwakili oleh Trio Belanda (Van Basten, Rijjkard dan Gullit) melawan Intermilan yang diwakili oleh Trio Jerman (Brehme, Klinsmann dan Mattheus). Pada era ini bisa dikatakan A.C. Milan berada di masa keemasannya, bahkan saat era kepelatihan Fabio Capello mereka diberi julukan invicibli karena tidak terkalahkan untuk 59 pertandingan. Tetapi pada Piala Dunia 1990, San Siro menjadi tempat partai puncak Piala Dunia yang mempertemukan Belanda dan Jerman. Bagi banyak orang pertemuan antara Belanda dan Jerman ini seperti derby Milan versi tim nasional. Akhirnya kita tahu bahwa Jerman menjadi juara dengan skor 2 - 1 dan memberikan "kemenangan moral" bagi tiffossi Inter.


Era Kini
Kasus Calciopoli pada tahun 2006 yang melibatkan Juventus F.C., A.C. Milan, A.S. Roma, S.S. Lazio dan A.C.F. Fiorentina merubah peta kekuatan Serie A secara drastis. Juventus yang kala itu begitu berkuasa dijatuhi hukuman dengan pencabutan gelar scudetto tahun 2004/2005 dan gelar scudetto 2005/2006 diberikan kepada Intermilan sekaligus mengakhiri puasa gelar mereka selama 17 tahun. Setelah itu tidak ada yang bisa menahan kedigdayaan Intermilan di bawah kepemimpinan presiden mereka, Massimo Moratti. Roberto Mancini yang ditunjuk sebagai manager berhasil membawa gelar scudetto 2006/2007, 2007/2008. Walau juara ternyata Moratti tidak puas dengan prestasi di tanah Eropa, Moratti kemudian menunjuk Mourinho menggantikan Mancini dan puncaknya pada musim 2009/2010 dimana Intermilan menjadi tim Italia pertama yang berhasil meraih treble winners. Pada era ini Intermilan juga akhirnya berhasil melampaui perolehan scudetto A.C. Milan untuk pertama kalinya sejak 1992/1993 saat A.C. Milan berhasil menyamai perolehan 13 kali scudetto Inter. Hingga saat blog ini ditulis A.C. Milan menempati urutan pertama di klasemen sementara Serie A dan Intermilan terperosok di posisi 6. Apakah ini akan menjadi titik balik pencapaian Intermilan dibawah kepimpinan Massimo Moratti ? Sejauh Serie A berjalan sampai bulan Desember ini hal itu mungkin saja terjadi.

Film :






Sumber :
F.C. Internazionale Milano S.p.A
Associazione Calcio Milan 1899 S.p.A
Derby della Madonnina


Post sebelumnya:
http://degradablethoughts.blogspot.com/2010/12/derby-di-milano.html