Thursday, 18 September 2014

Cerita Panjang Pardew yang Singkat dengan Newcastle

Dua musim lalu Alan Pardew adalah pahlawan bagi Newcastle United, ia membawa Magpies mencapai "prestasi" terbaik mereka sejak 1996-1997, tapi sekarang ia menjadi antagonis bagi Toon Army.

Cerita antara Pardew dan Newcastle memang tidak berjalan baik sejak ia menginjakkan kaki di sana. Lagipula manajer mana yang ingin berada di posisinya saat itu, menggantikan Chris Hughton di pertengahan musim, manajer yang membawa tim berseragam hitam-putih itu promosi--dengan hanya empat kali kalah di divisi Championship--dan pemecatannya tidak dapat dipungkiri menjadi hasil dari keputusan mengejutkan. Banyak pihak yang mengecam keputusan Mike Ashley kala itu.

Beruntung bagi Pardew, ia sukses menjalani pertandingan pertamanya. Bahkan bisa dikatakan terlalu manis--manis diabetes?--Newcastle menang 3-1 atas Liverpool di kandang sendiri dan perlahan rasa kesal atas kepergian Hughton mereda. Puncaknya terjadi pada musim penuh pertama Pardew, di 2011/2012.

Pria yang pernah bekerja sebagai tukang kaca itu memberikan musim terbaik Newcastle sejak 17 tahun silam ketika mereka finis sebagai runner-up Premier League. Pardew terbang tinggi, ia membawa timnya melaju 11 pertandingan tidak terkalahkan di seluruh kompetisi dan menutupnya dengan menduduki peringkat kelima di akhir musim sekaligus mendapatkan tiket ke Eropa.

Fantastis! Apa yang lebih fantastis dari itu? Pardew memenangkan gelar Manajer Terbaik 2011/2012. Tidak diragukan lagi, para suporter Newcastle pun terbuai dengan hal tersebut dan kontroversi penunjukkannya di Desember 2009 yang lalu pun menguap.

Tunggu dulu, bahkan ada yang lebih fantastis, ia mendapatkan perpanjangan kontrak dari Ashley--bukan empat musim seperti yang diberikan Aston Villa kepada Paul Lambert baru-baru ini--tapi delapan musim.

Ya, delapan musim. Artinya hingga 2020.

Akan tetapi, angin di puncak bukit bertiup terlalu kencang, para pemain andalan Newcastle satu per satu lepas dari genggaman Pardew dan begitu juga dengan performa timnya yang lalu menurun.

Puncaknya setelah ditinggal Yohan Cabaye menuju Paris Saint-Germain di Desember 2013, The Toon lesu bahkan mereka harus berjuang menjauhi zona merah pada akhir musim. Singkat cerita mereka berhasil dan masuklah musim baru, mulai dari nol.

Tujuh pemain didatangkan pada transfer jendela musim panas untuk menjaga agar Newcastle tidak kembali terbelit situasi musim lalu, nama-nama yang cukup kece pula, seperti: Remy Cabella, Siem de Jong, Emmanuel Riviere dan salah satu pemain yang namanya cukup sering terdengar di Piala Dunia, Daryl Janmaat. Optimisme pun timbul.

Namun, yang namanya kenyataan memang sering berjalan beda dari keinginan--iya, klise--dan rival dari Sunderland ini justru terdampar di dasar klasemen. Hasil dari dua kali seri dan dua kali kalah.

Seketika suporter Newcastle teringat bahwa Pardew memang bukan sosok favorit di antara mereka. Toh, di hari penunjukkannya sebagai manajer di klub itu ia hanya mendapat persetujuan dari 5,5% suporter, sebegitu tidak populernya.

Hal ini mengingatkan pada Hamburg SV. Kondisi kedua klub, secara performa, tidak jauh berbeda. The Dinosaurs terperosok ke bagian bawah klasemen ketika ditangani oleh Bert van Marwijk, kemudian Mirko Slomka datang dan berhasil lolos dari degradasi, meski harus melalui play-off. Tapi, pria yang sama gagal mengangkat permainan tim asuhannya musim ini dan ia didepak setelah sekali seri dan dua kali kalah. Sama seperti Newcastle, die Rothosen menduduki peringkat terakhir.

Bila manajemen Hamburg memutuskan bergerak cepat demi menghindari skenario yang terjadi musim lalu, Ashley sebagai pemilik klub bertahan dengan Pardew. Mungkin besarnya kompensasi dari kontrak super panjang menjadi pertimbangan? Mungkin saja, mengingat ia sebagai pribadi yang "perhitungan".

Hanya saja pada banyak klub suara suporter cukup menentukan dan melihat bagaimana vokalnya para suporter Newcastle usai tim kesayangan mereka digilas 0-4 oleh Southampton di St. Mary's, nasib Pardew sangat mungkin bergantung pada skor akhir pekan ini ketika Magpies melawan Hull City di St. James Park, bukan tidak mungkin hari-hari Pardew di Tyneside berakhir lebih cepat dari kontraknya.

Lagi pula, posisi manajer di dunia sepak bola persis seperti kata Sam Longson kepada Brian Clough:
"Last of all, bottom of the heap, the lowest of the low, comes the one who in the end we can all do without, the f******g manager."

Wednesday, 2 July 2014

Lampard Spoke Bahasa Indonesia

Had this, absurd, dream...

Was met Frank Lampard in England shirt, that's just quite normal.

Then I interviewed him about Diego Costa coming to Chelsea and Mourinho's pick on Thibaut Courtois or Petr Cech, replied with all those diplomative-save-answers.

........

But the big news was he answered it all in BAHASA,  never guess that one coming.

Of course I asked him, when did you learn to speak in Bahasa? He just can, well, that messed up.



............................




..............

....

The hell if it means Chelsea win Premier League next season, or Lampard move to ISL, yes, that one, that'll be better though. Ended up work as cashier in kelontong shop.

All these World Cup matches, too much football?

Tuesday, 22 April 2014

Adu Jago Ancelotti dan Guardiola di Santiago Bernabeu

Tidak sedikit yang mengatakan pertandingan antara Real Madrid dan Bayern Muenchen sebagai final yang kepagian, apa pun itu laga ini tepat dirayakan sebagai pesta sepak bola.

Kemampuan taktik kedua pelatih, Carlo Ancelotti dan Pep Guardiola, tidak perlu diragukan lagi. Saat keduanya bertemu dengan tim masing-masing di lapangan akan menarik untuk melihat siapa yang keluar sebagai pemenang.

Saya cukup yakin tidak ada parkir bus seperti yang Chelsea lakukan terhadap Atletico Madrid di Vicente Calderon, Jose Mourinho memang mengatakan bukan niatnya untuk mencari skor imbang, 0-0, namun di saat bersamaan permainan yang diperagakan The Blues jelas terlihat berusaha mencuri gol dari set-piece alih-alih merencanakan serangan balik efektif.

Ancelotti, sebagai seorang Italia dan lulusan Coverciano, pusat pelatihan pelatih sepak bola negeri Pizza tersebut, punya reputasi sebagai seorang yang handal meramu taktik. AC Milan pernah dia bawah menjadi juara Liga Champions dua kali, Chelsea dan Paris Saint-Germain pernah merasakan sentuhan tangan dinginnya, Madrid baru saja dibawanya menjuarai Copa del Rey dengan mengalahkan rival abadi, Barcelona, di Stadion Mestalla.

Setelah di awal musim perjalanan Madrid kurang mulus, kalah dua kali sebelum Oktober, namun perlahan-lahan Los Blancos mulai dapat beradaptasi dengan permainan bola-bola pendek yang diinginkan Ancelotti dan kini kembali sebagai penantang kuat untuk gelar juara La Liga.

Apakah dengan formasi "Pohon Natal" yang terkenal bersama Milan atau 4-3-3 bersama Madrid musim ini, Don Carlo punya pengalaman lebih dari cukup untuk diadu dengan manajer mana pun.

Lawannya, Guardiola, seorang perfeksionis yang bila boleh dikatakan, terobsesi, dengan pendekatan possession football. Didikan Johan Cruiyff yang pada kariernya gemilang sebagai pemain "nomor enam" kala maestro sepak bola Belanda tersebut menangani Barcelona.

Musim ini Guardiola mendominasi Bundesliga, banyak yang mengatakan semua terjadi karena liga Jerman tidak kompetitif dan Bayern diisi oleh kumpulan pemain terbaik di sana.

Yang justru menarik adalah setelah ditinggal Jupp Heynckes performa Bayern bukan hanya bertahan tapi juga meningkat, mengeksplorasi kemungkinan baru, mulai dari Phillip Lahm yang dijadikan gelandang bertahan, revitalisasi Rafinha, Arjen Robben yang tampil sebagai pemain kunci die Roten. Guardiola bukan hanya mempertahankan kualitas juara namun juga menghembuskan nafas baru bersama raksasa Jerman itu.

Baik pelatih atau tim adalah salah satu yang terbaik di Eropa, melihat mereka berduel membuat saya teringat dengan adegan tarung Iko Uwais dan Cecep Arif Rahman di The Raid 2. Memang final yang kepagian dan bukan bagian akhir cerita tapi pantas untuk dinantikan!

*Artikel ini pertama kali  muncul di Sportsatu.com, Rabu (23/4).

Wednesday, 16 April 2014

Keraguan Pada Messi di Final Copa del Rey

Cristiano Ronaldo dipastikan tidak tampil membela Real Madrid untuk menghadapi Barcelona di final Copa del Rey kali ini, namun apakah Lionel Messi akan memastikan gelar jatuh ke tangan Azulgrana?

Dengan tidak adanya Ronaldo yang absen karena cedera, alasan yang harus diakui jarang terdengar darinya, Madrid harus kehilangan pemain yang digambarkan oleh Iker Casillas sebagai "pembuat perbedaan".

Sedangkan di kubu lawan, Barcelona, Messi dapat dipastikan turun sejak menit pertama. Tetapi harus diingat, performanya belakangan ini juga di bawah rata-rata, yang paling mencolok adalah pada dua pertandaingan terakhir, melawan Atletico Madrid dan Granada.

Di leg kedua perempat final Liga Champions, Messi, peraih empat kali Ballon d'Or, hanya berlari sebanyak 6,8 kilometer walau bermain penuh selama 93 menit, cuma 1,5 kilometer lebih banyak dari Jose Manuel Pinto dan jelas kalah jauh dari pencetak gol kemenangan Los Colchoneros, Koke, yang meraup 12,2 kilometer.

Operan yang dibuat Messi hanyalah 76% dengan tidak ada gol tercipta dari empat percobaan, bagi pemain sekelasnya catatan ini termasuk buruk.

Kembali ke liga, Messi diharapkan tampil lebih baik. Lawan yang dihadapinya "hanya" Granada, tim peringkat 13 dengan enam poin di atas zona degradasi.

Meski secara keseluruhan Barcelona tampil jauh lebih baik, boleh juga digolongkan kurang beruntung. Namun, yang terjadi terhadap Messi sama memfrustasikan seperti menghadapi Atletico.

Messi sukses tampil penuh, statistik sembilan kali berhasil melewati pemain sedikit mencerahkan tetapi tertutupi oleh catatan tidak ada gol dari lima kali percobaan ke gawang dan sekali lagi, operan yang dicatatkannya hanya 76%.

Memang menjadi ceroboh bila mengaitkan Messi "bosan dengan keadaan di Barcelona", seperti tutur Angel Cappa, mantan asisten manajer Blaugrana, dan mencoba mencari tantangan baru. Fase yang sedang dilaluinya saat ini pernah dialami pada awal 2014 usai cedera dan setelahnya The Messiah mampu bangkit, salah satunya mencetak hattrick melawan Madrid pada akhir Maret.

Hanya saja, waktu sedang tidak tersenyum pada Messi. Pada tahap ini tidak banyak pertandingan tersisa untuk menunggu pemain asal Argentina itu kembali ke performa yang dinantikan darinya, khususnya melawan Madrid di final Copa del Rey.

25 gol dari 26 laga La Liga memang tidak buruk, tapi tidak cukup bagus untuk Messi. Atau, laga ahad menjadi momen yang tepat bagi Gareth Bale dan Neymar tampil sebagai ikon kedua klub?

*Artikel ini pertama muncul di Sportsatu.com, Selasa (15/4/2014).

Thursday, 10 April 2014

Evra Effect di Allianz Arena yang Menghibur

Saya tidak menyesal saat melewatkan pertandingan Chelsea dan Paris Saint-Germain, meski di dalamnya Anda dapat melihat comeback luar biasa skuat The Blues. Namun, dari jauh-jauh hari saya sudah antisipasi agar tidak kelewatan leg kedua Bayern Muenchen dan Manchester United.

Bukannya saya melihat Man. United punya harapan, saya justru menganggap "kemenangan moral" The Red Devils di Old Trafford dalam leg pertama sudah menjadi usaha maksimal yang bisa didapat David Moyes.

Jangan salah melihat rekor baik Man. United sebagai tim dengan catatan tandang paling bagus di Premier League, perolehan angka mereka tidak mampu berbuat banyak di Allianz Arena. Mudahnya, karena kedua tim berada di level permainan yang berbeda.

Lalu apa yang kita lihat di kandang Bayern? Bukannya Die Roten terlihat kesulitan mengembangkan permainan melawan Man. United? Tidak juga, bila Anda melihat penjabaran lengkap Michael Cox di The Guardian tentang laga itu, justru Pep Guardiola yang kelewat kreatif yang mempersulit diri sendiri saat sebenarnya permainan biasa mereka bisa mengalahkan sang juara bertahan Premier League.

Taktik yang diterapkan oleh Moyes tepat seperti yang diperkirakan Guardiola, "Dengan delapan atau sembilan pemain yang bertahan dengan lini pertahanan yang dalam."

Dengan pemahaman bersama bahwa Guardiola adalah salah satu pelatih sepak bola paling brilian saat ini, mengetahui soal bahkan sebelum tes dimulai rasanya sulit bila kemudian masih berharap Man. United bisa meraih hasil di leg kedua.

Rasanya, lolos ke semifinal seperti berharap pada keajaiban. Anda tidak mengharapkan kejadian Ole Gunnar Solskjaer dan Teddy Sheringham terulang setiap tahun, kan?

Tapi, setelah mengatakan hal tersebut Man. United juga tidak menyerah begitu saja, diawali dengan serangan di sisi kanan yang dikawal oleh Antonio Valencia, Mas Toni melepas umpan yang awalnya tampak tidak jelas juntrungannya, kepada siapa dan saat itu Danny Welbeck juga Wayne Rooney sama bingungnya, harus diapakan bola ini. Hingga Patrice Evra berlari dari belakang, BANG! masuk mulus yang membuat lini massa Twitter bergemuruh!

Ya, ya, gol itu bertahan tidak sampai semenit, 20-30 detik mungkin dan kita tahu setelahnya Bayern tersontak sadar untuk memainkan performa terbaik mereka, yang telah ditunjukkan sepanjang musim di Bundesliga.

Namun dengan gol Evra tersebut, tidak ada caci maki lebih dari yang awaknya diperkirakan, seperti ada perasaan, "ya bolehlah, udah usaha." Mengingat apa yang terjadi pada Man. United sepanjang musim, tersingkir oleh Bayern bisa jadi penghargaan tertinggi di Liga Champions musim ini. Toh, bila pasukan Guardiola menang pada pendukung Setan Merah bisa bilang mereka kalah dari sang juara, tim pertama di era Liga Champions yang sanggup mempertahankan gelarnya di Eropa.

Saat PDI-P melihat pengharapan pada Jokowi Effect mereka tidak seefektif yang awalnya diharapkan, pendukung Man. United sedikit lebih tenang dengan hujatannya kepada Moyes, semua berkat Evra Effect.

A glimpse of seconds when you dare to dream...

Thursday, 3 April 2014

Kemenangan Kecil Moyes

Sebelum leg pertama perempat final Liga Champions di Old Trafford dimainkan saya teringat bagaimana teman-teman saya mengucapkan "bela sungkawa" mereka setelah undian mempertemukan Manchester United dengan Bayern Munich.

Pertemuan dengan Bayern seakan menjadi hukuman mati, setidaknya begitu menurut teman lainnya yang merupakan suporter Arsenal. Dua musim berturut-turut tim kesayangannya tersingkir oleh Die Roten, tentu dia lebih dari paham bagaimana perasaan pendukung Man. United ketika dihadapkan dengan sang juara bertahan.

Belum lagi bila membahas tidak meyakinkannya permainan Man. United musim ini. Dari rekor menghadapi empat tim teratas Premier League, The Red Devils hanya sekali menang, atas Arsenal, bagaimana jadinya melawan Bayern yang musim ini sangat mendominasi Bundesliga? 53 pertandingan tidak terkalahkan berturut-turut, yang benar saja!

Terlepas dari kekhawatiran para pendukung Man. United, Moyes ternyata punya jawabannya sendiri.

Sadar tidak bisa mengungguli Bayern dalam urusan penguasaan bola, Moyes membiarkan bola di kaki pasukan Pep Guardiola dan menumpuk lima pemain di lini tengah dengan Wayne Rooney tampil sebagai ujung tombak serangan balik untuk menghadapi tujuh gelandang yang diturunkan tim lawan.

Moyes membuat permainan yang diterapkan Man. United simpel: tahan serangan Bayern, berikan kepada Rooney dan biarkan Danny Welbeck berlari mengejar bola. Melihat FC Hollywood harus melayangkan delapan tembakan dari luar kotak penalti dan hanya satu dari total 16 percobaan yang bersarang di gawang David De Gea, sah-sah saja menyatakan pertahanan Setan Merah menjalankan tugasnya dengan baik.

Bahkan skema tersebut hampir melambungkan Moyes ke langit ketujuh saat Rooney membuat Welbeck berada dalam kesempatan emas satu lawan satu dengan Manuel Neuer, yang kemudian terbuang percuma karena penyelesaian amatir anak lokal Greater Manchester tersebut.

Man. United yang dianggap sebagai underdog di laga ini tentu mendapatkan kemenangan moral. Hiburan setelah membuktikan diri mereka lebih dari sekadar pelengkap di perempat final, walau pada kondisi sebenarnya Bayern tetap diunggulkan berkat gol tandang mereka.

Selain agregat, hal lain yang membuat saya kian khawatir adalah kemampuan Guardiola membaca situasi dan membuat tim asuhannya beradaptasi untuk meraih kemenangan. Ketika banyak pihak merasa kesuksesannya saat menangani Barcelona diraih berkat bakat luar biasa para pemainnya, Andy West bersikeras pemuka sepak bola aliran La Masia itu dianugerahi bakat observasi luar biasa yang membuatnya unggul dibanding manajer lain.

Sejalan dengan keraguan saya terhadap Moyes dapat memberikan kejutan lain bersama Man. United pada leg kedua, semakin jelas hasil seri ini hanya kemenangan pertempuran kecil dan perang besarnya menanti di Allianz Arena.

Tuesday, 25 March 2014

Man. United dan Harapannya Melawan Bayern

English-German classic encounter, we know who's the winner anyway.
Segera setelah Manchester United dipastikan melaju ke perempat final Liga Champions, hal yang terbayang di kepala saya adalah lawan yang menanti. Dibandingkan dengan tim lain jelas anak asuh David Moyes bukan siapa-siapa.

Marca memang menuliskan perempat final Liga Champions kali ini adalah yang terbaik, memuat semua tim yang tampil bagus di liga masing-masing, PSG, Atletico, Real Madrid, Chelsea, Bayern Munich dan di antara mereka terselip Man. United. Seperti David Nalbandian di antara Roger Federer, Novak Djokovic dan Rafael Nadal, apa yang bisa dia lakukan? Kemungkinan besar hanya melengkapi jumlah pemain.

Lalu beberapa hari kemudian, Jumat, tibalah hari pengundian tim. Kemudian seorang teman, pendukung Arsenal, dengan antusias memberitahu Man. United akan bertemu Bayern. Twitter pun menggila, Setan Merah bertemu Si Merah, tidak ada kesempatan.

Semua yang bisa menggunakan akal sehat tentu sadar akan itu, bila boleh memilih lawan yang saya anggap paling realistis adalah Borussia Dortmund. Belakangan performa mereka sedang jalanan di Tangerang Selatan yang ditinggal walikotanya bolak-balik ke pengadilan, pendeknya, kurang sedap dipandang.

Namun apa mau dikata, lawan sudah ditentukan, Man. United akan melawan Bayern. Sekadar saran, bila ada dari Anda yang masih berharap Moyes bisa mengalahkan Guardiola maka ada baiknya Anda tetap tidur, mimpi Anda mungkin dapat mengabulkannya, mungkin. Dan jangan sekali-kali menyinggung tentang apa yang terjadi di Barcelona pada 1999.

Tapi di antara semua yang akan berjalan buruk bagi Man. United tetap punya hal positif untuk dinanti. Pertama, kebobolan hanya menghentikan menit bermain. Menit pertama, 15, ujung babak pertama, awal babak kedua, cepat atau lambat kita semua tahu Mario Mandzukic akan mencetak gol ke gawang David De Gea, untungnya jika hal itu tidak terjadi tebak siapa yang akan tertawa terbahak-bahak?.

Kedua, Man. United tidak perlu bersusah payah mendominasi permainan. Bahkan Manchester City pun tidak bisa melakukannya, tidak ada yang akan menyalahkan Wayne Rooney Cs. bila penguasaan bola berada di tangan Bayern, Guardiola sangat ahli dalam membuat tim asuhannya melakukan hal tersebut dan mengingat apa yang sudah-sudah melawan Barcelona, Anda bisa membayangkan sendiri, dan jika hal itu tidak terjadi tebak siapa yang akan tertawa terbahak-bahak?

Ketiga, percuma bicara tentang "Never Say Die United". Lupakan ingatan indah Anda tentang Man. United di era Sir Alex Ferguson, Anda kini bersama Moyes. Ditambah dengan laga pertama terjadi di Old Trafford, harapan terulangnya momen melawan Olympiakos sangatlah kecil, mikroskopik.

Yang justru lebih mungkin terjadi, jika entah bagaimana leg pertama memihak pada The Red Devils, Bayern akan membalikkan hasil tersebut di Allianz Arena, dengan penguasaan bola di atas 60%, operan terobos Thiago Alcantara, tembakan jarak jauh Toni Kroos, pemanfaatan ruang dari Thomas Muller, over-lap David Alaba, tapi jika hal itu tidak terjadi tebak siapa yang akan tertawa terbahak-bahak?

Siapa? Bukan pendukung Man. United tentunya, kekalahan ke-10 di Old Trafford dari rival sekota mereka (26/3) membuktikan apa yang ada di atas ini memang skenario yang akan terjadi. Sudah saatnya kalimat pamungkas, "lihat musim depan", diucapkan. Sekarang pun mungkin sudah terlalu terlambat.