Tuesday, 25 November 2014

Jelang Akhir Tahun, Waktunya Candu Merah-Putih

Jelang akhir tahun seperti ini, saat hujan lebih sering turun, biasanya masyarakat sepak bola Indonesia; saya, Anda, mereka, kerap dibuat mabuk oleh candu. Candu ini berwarna merah, dan putih.

Candu yang membuat pikiran melayang tinggi, beranjak dari derasnya hujan yang menggenani jalan-jalan besar di ibu kota, menyembunyikan lubang-lubang, dan dengan usilnya mengetuk atap rumah. Candu yang sedikit mengalihkan perhatian dari penatnya obrolan panas tentang kenaikan bahan bakar atau bobroknya pemerintahan.

Ada dua, merah dan putih, candu itu. Berbeda pula gunanya.

Yang merah, memacu adrenalin Anda, membuat Anda merasa tidak terkalahkan. Senang. Tawa. Euforia. Katakanlah begini, bila Anda berada di Pamplona untuk festival San Fermin, bukan Anda yang terbirit-birit dikejar banteng, justru sebaliknya.

Ia membuat Anda lupa diri, tenggelam dalam kesenangan.

Untuk yang putih, menyelimuti Anda dalam kabut. Tenang. Tidak bersuara. Pikiran dibuatnya berjalan jauh tanpa selangkah pun kaki Anda bergerak. Anda dibuat berpikir, untuk apa manusia ada di dunia. Tidak jarang Anda menitikkan air mata.

Ia membuat Anda lupa diri, tenggelam dalam ketenangan.

Tentu cara untuk menikmatinya beragam, bisa hanya merah, atau hanya putih. Namun, rumor mengatakan cara yang terbaik adalah menggabungkan keduanya, dikenal dengan candu merah-putih.

Sesaat Anda tertawa, setelahnya termenung. Dua efek yang kontradiktif mengaburkan pandangan, membuat Anda lupa dengan urusan belum bayar tagihan atau hal-hal remeh duniawi seperti itu untuk sementara waktu.

Anda dibuatnya senang, tinggi, tapi pada akhirnya amarah Anda dibuat memuncak, marah. Hampa. Tidak ada kejayaan yang pernah Anda rasakan pada akhirnya sebagaimana menjanjikan efek candu tersebut pada hisapan pertama. Tidak ada...klimaks.

Oh satu lagi, bukan hanya dibuat pontang panting emosi Anda. Mendapatkannya pun sulit. Sang bandar hanya muncul sekitar dua mingguan, itu juga hanya sekali dalam dua tahun. Bisa di Vietnam, Singapura, Thailand, suka-suka.

Beruntungnya untuk harga masih fleksibel. Tidak menguras dompet, dapat ditebus dengan waktu yang Anda miliki. Dua jam, tiga jam sudah cukup.

Menyenangkan ketika waktunya sang bandar untuk muncul sudah tiba, candu itu, menyenangkan, walau yang namanya candu selalu menyenangkan, untuk sesaat.

*Menghirup*

*Menghembus*

*Bruk*

Catatan: tulisan dibuat sebelum Indonesia digilas 4-0 oleh Filipina, jadi *bruk* beneran ini.

Wednesday, 12 November 2014

Dan Kramer Pun Turut Membantu (Dortmund)

Seringkali rencana yang telah disusun tidak berjalan sesuai kenyataan yang terjadi, bagi Borussia Dortmund situasi tersebut sangatlah nyata.

Sejak bangkit dari bangkrut, membangun kembali klub dan berada di bawah arahan Juergen Klopp, Dortmund sukses menghadirkan warna baru selain merah Bayern Muenchen yang mendominasi Bundesliga.

Pemain-pemain seperti Mario Goetze, Robert Lewandowski, Ilkay Gundogan, Shinji Kagawa, Jakub Blaszczykowski dan Marco Reus pun menjadi identik dengan Dortmund asuhan Klopp yang menjuarai liga Jerman dua musim berturut-turut di 2010/2011 dan 2011/2012.

Akan tetapi, masa indah tersebut perlahan menjadi kelabu seiring usaha Bayern untuk mendapatkan kembali status mereka sebagai klub terbaik di Jerman dan kekuatan Dortmund mulai melemah imbas ditinggalkan pemain andalan mereka satu per satu, hingga puncaknya berada di musim panas tahun ini ketika top skorer die Schwarzgelben beberapa musim terakhir angkat kaki ke die Rotten. Lewandowski tidak lagi ada di lini depan tim asuhan Klopp.

Apakah hal tersebut menjadi masalah besar? Mungkin iya, mungkin tidak. Seperti musim yang sudah-sudah, pemain yang pergi digantikan oleh pemain lain. Toh, kekuatan utama Klopp adalah sistem yang telah ia buat, permainan menekan dengan gegenpressing dan bila satu puzzle hilang maka yang ia akan lakukan adalah mencari potongan puzzle lain.

Walau harus diakui, Henrikh Mkhitaryan mungkin tidak seberbakat Goetze, dan Ciro Immobile, jelas ia punya kemampuan mengingat statusnya sebagai pencetak gol tersubur Serie A musim lalu, masih beradaptasi dengan lingkungan barunya. Namun, Ada Pierre-Emerick Aubameyang yang semakin solid di lini depan Dortmund. Begitu juga dengan kembalinya Kagawa dari Manchester United yang dapat diandalkan untuk memberikan umpan-umpan terobos yang tajam.

Jelas jika dibandingkan dengan Bayern maka Dortmund tidak berada dalam kekuatan yang setingkat. Pada beberapa musim terakhir, dapat dikatakan performa terbaik kedua klub tampak pada musim 2012/2013 dan hasil final Liga Champions musim itu sudah menentukan siapa yang berhak menyombongkan diri mereka sebagai yang lebih superior.

Namun demikian, sejak saat itu Reus dan kawan-kawan belum sanggup memperlihatkan permainan yang sama. Permainan dengan pressing intens dan operan dinamis yang bahkan dapat membuat klub sekelas Real Madrid berkeringat dingin.

Cuma Dortmund tidak perlu khawatir, karena memang Bayern saat ini tidak lagi pantas berada di Bundesliga. Justru aneh jika FC Hollywood gagal memuncaki kompetisi domestik dengan segala sumber daya yang mereka miliki. Hanya saja, tidak berarti klub yang bermarkas di Signal Iduna Park itu inferior dari Schalke 04, Bayer Leverkusen, atau Eintracht Frankfurt. Kenyataannya? Mereka terancam terdegradasi dengan menjadi juru kunci saat kompetisi hampir memasuki sepertiga musim.

Mats Hummels bingung menanggapi buruknya lini belakang Dortmund, Klopp pun menyatakan hal yang sama. Permainan mereka tidak sepenuhnya buruk, pemain mereka juga, seperti yang dikatakan di atas, ada di atas rata-rata. Meski demikian, sebelum bertemu dengan Borussia Moenchengladbach di spieltag ke-11 Dortmund hanya mendapatkan satu poin dari tujuh pertandingan terakhir di Bundesliga.

Banyak pihak mengira Dortmund belum sanggup memperbaiki performa ketika menjamu Moenchengladbach, yang sejauh musim ini berjalan menjadi klub yang paling mengancam Bayern, tapi yang malah terjadi adalah sebaliknya.

Sejak menit pertama, Dortmund langsung mengancam gawang tim tamu. Reus, Mkhitaryan, Aubameyang bergantian mendapatkan kesempatan. Bahkan yang namanya belakangan disebut sempat mencetak gol akrobat jika tidak dalam posisi offside. Ketika pertandingan memasuki jeda, tuan rumah sukses melakukan sembilan tembakan yang mengarah ke gawang tapi masih berhasil diselamatkan Yann Sommer atau diblok pertahanan Moenchengladbach.

Sebagai salah satu tim yang tengah bertengger di papan atas, ada kemungkinan anak-anak asuhan Lucien Favre menghadirkan balasan di babak kedua. Sah-sah saja bila memerkirakan bahwa pria asal Swiss itu melihat kelemahan dalam performa dominan Dortmund di babak pertama dan menyiapkan strategi balasan.

Ternyata hal tersebut tidak pernah terjadi. 45 menit kedua yang dimainkan menegaskan apa yang seharusnya ditampilkan Dortmund selama 10 pertandingan sebelumnya. Pasukan hitam kuning menyengat seperti rombongan lebah, yang sayangnya tidak juga berhasil menceploskan bola ke gawang Sommer. Seakan ada tembok tidak terlihat yang menghalau terjadinya gol.

Sampai terjadi salah satu gol terbaik, atau terburuk (?), yang pasti akan masuk highlights Bundesliga musim ini saat Christoph Kramer mencetak gol bunuh diri yang indah dari hampir setengah lapangan.

Satu gol tidak membuat Dortmund puas, mereka mencium bahwa lawannya sedang terluka dan ingin menghabisinya. Tapi apa boleh buat setelah melakukan 22 tembakan pada akhirnya mereka gagal mencetak satu gol pun, dengan catatan Moenchengladbach dibuat tidak berkutik dengan gagal melakukan tembakan mengarah ke gawang Roman Weidenfeller.

Klopp tidak ambil pusing, asalkan ia mendapatkan tiga poin. "Kami akhirnya mendapat dua digit poin," kata mantan pelatih Mainz 05 itu usai pertandingan. Ia juga menanggapi situasi dengan enteng ketika mengingatkan Kramer menjadi bagian sejarah dari Dortmund.

Gol bunuh diri yang hampir mustahil dari Kramer itu melayang sejauh 45 meter, lebih spesial lagi,selain karena jaraknya yang terlampau jauh, bahwa pemain yang mencetak gol adalah pemain andalan Moenchengladbach yang tengah hangat dibicarakan. Bukan Martin Stranzl, bukan pula Tony Jantschke, dan bukan Sommer yang posisinya paling dekat gawang, tapi Kramer.

Mungkin saja merupakan hadiah dari semesta setelah semua usaha keras yang dilakukan Dortmund untuk mengubah peruntungan mereka.

Setelah berulang kali mengetuk, malah mungkin sudah menggedor-gedor, pintu rumah Dewi Fortuna, keberuntungan berpihak kepada Dortmund. Runner-up liga musim lalu itu keluar dari zona merah, walau sangat tipis, dan siap membuka lembaran baru.

Mungkinkah ini menjadi tanda akhirnya musim Dortmund baru dimulai? Siapa tahu, lagi pula Dia bekerja dengan cara yang misterius dan membingungkan. Semembingungkan bagaimana awalnya Dortmund bisa ada di posisi terbawah Bundesliga.

Monday, 3 November 2014

Man. United Punya Satu Tugas dan Mereka Gagal Melakukannya

Dari jauh-jauh hari sebelum derby Manchester, Manchester United sudah tahu tugas utama yang harus mereka lakukan saat bertandang melawan Manchester City, meski begitu tim asuhan Louis van Gaal tetap saja gagal melakukannya.

Oke, mungkin tidak benar-benar satu tugas. Tapi, bila yang satu ini gagal maka yang lain menjadi tidak berarti. Tugas yang dimaksud adalah menjaga pergerakan sumber gol Man. City, Sergio Aguero.

Kompatriot Aguero di Man. United, Marcos Rojo, sadar akan pentingnya hal tersebut. Toh, mantan menantu Diego Maradona itu memang akan selalu disorot. Sebelum derby dilangsungkan, ia telah mencetak 15 gol bagi the Citizens dari 16 pertandingan di seluruh kompetisi.

9 dari 15 gol itu dilesakkan di Premier League, membuat Aguero memiliki rataan 1 gol per laga dan pemain paling penting Man. City, sebab 47% gol yang dicetak legiun Manuel Pellegrini berasal dari pemain timnas Argentina ini.

"Ia sangat bagus dalam bergerak ke dalam posisi-posisi berbahaya. Anda harus sangat fokus dan berkonsentrasi menjaga pergerakannya dan mengetahui di mana ia berada dan kemungkinan celah yang ingin ia tuju. Anda harus melakukannya selama 90 menit," ujar Rojo dikutip dari BBC.

Sayangnya, Rojo tidak tahu ia hanya akan bertahan selama 55 menit, dan semakin tidak membantu ketika Chris Smalling melupakan tugas lainnya.

Dalam konferensi pers terakhir Man. United sebelum derby, Van Gaal sudah mewanti-wanti, "Kami tidak ingin kartu merah karena akan sangat sulit menang 11 vs 10 dan itu menjadi bagian dari persiapan kami."
38 menit pertandingan berjalan Smalling dikeluarkan wasit karena mendapatkan dua kartu kuning. Itu pun dengan dua kali pelanggaran yang membuat kata "bodoh" masih terlalu sopan dalam mendeskripsikannya.

Namun demikian, Rojo tetap menepati omongannya. Ia benar-benar menjaga penyerang Sky Blues itu, mengikuti pergerakannya. Pertahanan tinggi Man. United yang meninggalkan celah di belakang sebenarnya menguntungkan Aguero yang memiliki kecepatan tersebut tapi eks Sporting Lisbon menempelnya seperti pasangan yang baru jadian, tidak bisa lepas.

Hingga mimpi buruk Man. United datang di menit ke-55, Rojo mengalami cedera dislokasi bahu dan Aguero mendapatkan ruang untuk bergerak.

Sebelum Rojo ditandu keluar, Aguero "hanya" melakukan empat take ons dan tiga tembakan, dalam kurun waktu 30 menit kemudian sampai ia digantikan oleh Fernandinho, pesepak bola berusia 26 tahun berhasil hampir menggandakan kedua statistik itu menjadi tujuh take ons dan lima tembakan serta berhasil mencetak satu gol berselang enam menit setelah Rojo cedera.

Paddy McNair yang masuk menggantikan Rojo gagal mengikuti pergerakan Aguero di kotak penalti dan begitu pun Michael Carrick yang menjadi duet dadakannya. Maklum, saat gol terjadi barisan belakang Man. United dihuni satu pemain saya, satu gelandang bertahan dan dua bek berusia 19 tahun.

Diawali umpan terobos tajam dari Yaya Toure ke Gael Clichy, mantan bek Arsenal itu tidak buang waktu dan langsung mengirim umpan mendatar ke tengah yang disambut Aguero dengan sepakan keras. 1-0!

Berkat gol tersebut semakin menjadi-jadilah status Aguero sebagai predator berbahaya di dalam kotak penalti, terbukti dari 10 gol dari 10 laga Premier League ia hanya mencetak satu gol dari luar kotak terlarang.

Di sisa 15 menit terakhir Pellegrini memilih bermain berhati-hati mengingat tiga pertandingan sebelumnya berakhir tidak maksimal dan melindungi keunggulan mereka daripada mencoba menambah gol. Namun, lini depan Man. United pun tidak bisa berbuat banyak dengan penampilan Robin van Persie yang dibawah rata-rata.

Lalu, apakah ada sisi positif dari kegagalan Man. United menjalankan tugasnya? Tentu ada, the Red Devils boleh bergembira hanya kebobolan satu gol.

Tuesday, 28 October 2014

Halloween Biru-Merah di Old Trafford

Dunia merayakan bulan Oktober dengan Halloween. Oke, mungkin bukan hanya Halloween, ada juga Oktoberfest di bulan ini, tapi pesta menegak bir itu kurang cocok untuk apa yang ada di bawah ini. Perayaan Halloween di Old Trafford.

Jika Anda melewatkannya, pada akhir pekan lalu ada keriaan berbau hal-hal seram saat tim tandang terbaik hingga pekan kedelapan Premier League, Chelsea, bertamu ke markas dari Manchester United.

Seperti yang sudah disebutkan, Chelsea adalah tim tandang terbaik. Tamu paling kejam. Dari empat kali berkunjung ke rumah orang, the Blues sukses menggebuk tuan rumah tiga kali. Mereka bahkan hampir mengalahkan juara bertahan di Etihad, bila bukan karena gol penyelamat Frank Lampard di menit-menit akhir. Memang, belakangan Si Biru agak tidak sopan.

Berbanding terbalik, Man. United bukan tim yang unggul dari segi apapun. Bukan tim terbaik saat tampil di kandang, bukan tim paling jarang kebobolan, bukan juga yang paling agresif. Mereka, ya, Man. United, nama besar di Premier League yang tengah mencoba bangkit setelah mimpi buruk musim lalu.

Dan, dimulailah acaranya.

Sejak para tamu-tamu mencoba datang ke Manchester, rombongan dari London, sudah dipersulit. Jadwal kereta kacau balau karena ada perbaikan jalur secara mendadak. Beberapa bahkan gagal melawat ke stadion yang sejak berdiri sudah tua tersebut.

Itu baru awal, jalannya babak pertama membuat Red Army sering-sering baca doa. Saat kesempatan emas, dari Van Persie Si Robin, iya impiannya sejak kecil menjadi sidekick, di menit ke-23 misalnya, dengan aman dihalau Courtois Si Tembok. Padahal saat itu sang penyerang berdiri bebas tanpa penjagaan ketat bek Chelsea.

Lalu, ada pula kecerobohan barisan belakang Man. United yang tingkat santai memainkan operan di daerah pertahanan sendirinya selevel dengan korban-korban film horor yang entah kenapa justru lebih sering berjalan memasuki perangkap dari antagonis, mengundang celaka bagi dirinya sendiri.

Didier Si Muka Seram, yang di pesta kali ini menggunakan topeng mukanya sendiri, dan Eden Si Anak Surga, yang memakai kostum segitiga lengkap dengan tanda seru menandakan bahaya di dalamnya, membuat jantung pendukung the Red Devils olahraga cukup berat di babak pertama.

Baru bisa bernafas lega ketika pertunjukkan memasuki jeda, penonton tuan rumah kembali dibuat berkeringat dingin.

Bagaimana tidak, Didier yang sejak babak pertama menjadi momok akhirnya sukses membuat pendukung Man. United menutupi muka mereka. Buruk, bukan muka penyerang dari Pantai Gading itu, pertahanan sepak pojok yang buruk membuat Chelsea unggul, 1-0.

Tidak berhenti di situ, pertahanan Man. United terus dibombardir. Saat pendukung Setan Merah mulai gigit jari karena serangan pasukan Van Gaal Si Kepala Abnormal bermain setumpul terong belanda. Di sinilah Mourinho Si Spesial, di mana ia dengan cemerlangnya mengenakan nametag bertuliskan martabak, memainkan peranannya.

Diawali pesan tersembunyi dari Mourinho kepada Ivanovic Si Serbia Gila, bek asal...Serbia, itu menggunakan kekuatan pikirannya untuk mendorong Di Maria Si Malaikat, lengkap dengan ornamen sayap kecil di punggungnya, untuk terjatuh.

Tentu, hal tersebut ilegal. Peraturan Premier League jelas tidak membolehkan aksi psikis. Maka, Ivanovic harus keluar dari lapangan lebih dulu dan situasi ini menjadi momen kunci bagi Man. United,

Seperti kita tahu, pelanggaran berakibat sepakan bebas di menit-menit akhir itu berakhir dengan gol penyeimbang. Tepat pada tarikan nafas terakhir Van Persie mencetak gol dengan menghujam bola sekeras-kerasnya. 1-1! Lupa diri pria asal Belanda itu kemudian pamer dada kemana-mana. Langkah yang disebut "bodoh" oleh Van Gaal. Siapa pula yang mau melihat pentilnya ereksi.

Kemudian, saat peluit panjang berbunyi Mourinho mendatangi Van Gaal. "Sukes bos, pada ketipu," bisik pria asal Portugal itu.

It turns out, they tricked us to treat us. Happy Halloween
!

Thursday, 23 October 2014

Bertemu Si Gendut, Doni

Saya suka sepak bola, tapi untuk urusan ISL, para pemain-pemain lokal, baru satu dua tahun terakhir ini saya mulai menaruh perhatian lebih banyak.

Berbeda dengan muka-muka para pesepak bola di liga-liga besar Eropa, yang kebanyakan sudah saya hafal sejak berada di bangku SD. Tapi, jangan tanya bila bicara pesepak bola Indonesia. Pemain timnas pun belum tentu saya hafal semua, saat itu.

Sebagai Pamulang born-and-bred saya dekat dengan yang namanya Persita. Kebetulan saya bersekolah tidak jauh dari rumah, masih di daerah Kabupaten Tangerang, dan beberapa dari teman-teman saya lebih dari sekali membawa-bawa syal berwarna ungu kebangaan Viola. Untuk apa? Ya, atribut meramaikan di lapangan. Hiburan bagi mereka sepulang sekolah.

Meski saya tidak mengikuti liga Indonesia, tapi sesekali saya ingin tahu kondisi terkini dari Persita. Dan bila bicara soal Persita, hampir dapat dipastikan kata selanjutnya yang terpikir adalah rival terdekat, Persikota. Sama-sama Tangerang.

Ada dua hal yang masih lekat dalam ingatan saya soal Persikota, Gendut Doni, sang penyerang, dan ejekan dari Persita untuk si "anak kota": "Kuning kuning tai, kuning kuning tai. Kuning, kuning tai..."

Bagaimana saya bisa melupakan seorang pesepak bola yang nama depannya Gendut? Terlebih lagi badannya sama sekali tidak mencerminkan namanya. Itu pun menjadi satu-satunya hal yang saya tahu dari pria kelahiran Salatiga tersebut. Sampai seminggu yang lalu.

Saya mendapat kesempatan untuk mewawancarainya, Gendut Doni. Terima kasih kepada masa-masa magang, sebelumnya saya pernah mewawancarai pemilik restoran, sosok dalam gerakan kepemudaan, bahkan sutradara film pendek, tapi baru sekali saya bertemu tatap muka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada pesepak bola.

Mulai dari berbalas pesan singkat, pendek kata akhirnya momen yang direncanakan pun terwujud.

Betapa jauh panggang dari api ketika Gendut Doni menyapa dengan murah senyum, ia ternyata begitu antusias untuk membagikan cerita-cerita dari pengalamannya dulu sebagai pesepak bola yang pernah membela timnas, setelah kini berstatus PNS di Disperindag Tangerang.

Sekitar satu jam saya menghabiskan waktu, dalam wawancara beberapa kali ia mengeluarkan hp-nya untuk menunjukkan foto-foto lama, bersama Bepe, Kurniawan, semasa lulusan Diklat Salatiga itu menjadi pemain timnas.

Obrolan kami ngalor ngidul, mulai dari bagaimana tanggapannya tentang kegagalan timnas U-19 di Myanmar, kesulitan yang akan dihadapan dari pemain muda saat beranjak menjadi pemain profesional, lalu alasan mengapa ia sangat mudah berganti-ganti klub hingga latar belakang keluarganya dimana Gendut Doni memiliki dua kakak laki-laki yang juga pesepak bola, sekali lagi ia mengeluarkan hp-nya dan mencari foto untuk ditunjukkan. Semua dibahas.

Akan tetapi, ada satu pertanyaan yang begitu mengganjal benak saya dan akhirnya sukses terjawab! Darimana asal nama Gendut Doni. Mengapa pula Gendut?

Ternyata, hal tersebut bukan keinginannya, tentu, bukan juga keinginan orang tuanya, yang ini juga benar, adalah sang kakek yang memberikan kata Gendut di depan namanya.

Mengapa? Kebudayaan Jawa mengajarkan jika seorang anak kerap sakit-sakitan ada baiknya mengubah, secara keseluruhan atau dalam hal Doni menambahkan namanya, sehingga nasib baik mendatangi si anak dan mengusir aura buruk.

"Dulunya aku sering sakit-sakitan pas kecil, aku punya kayak asma terus paru-paru basah juga. Terus sama kakek....disuruh ganti nama. Terus dikasih nama itu, gendut. Gendut. Ditambahin Gendut," dengan nada yang menyiratkan ia juga bingung inspirasi sang kakek darimana datangnya.

Namun demikian, Gendut Doni turut bersyukur. Ia menganggap namanya benar-benar sebagai pembawa keberuntungan. Mulai dari kesembuhan penyakitnya, kemudahannya mencari klub di liga Indonesia dan terpanggil untuk membela timnas, baginya dikarenakan pengaruh dari "kegendutan"-nya.

"Bawa hoki," ujarnya.

Memang, namanya juga Indonesia, banyak hal-hal ajaib di sini. Ajaib, untuk namanya Gendut Doni. Ajaib, untuk si kakek yang terpikir memberi nama Gendut. Kini, si cucu, setelah gantung sepatu, pun benar-benar jadi gendut.

Saturday, 18 October 2014

Sambutan untuk Irfan Bachdim di J-League

Saya selalu tertarik dengan sepak bola Jepang, dan itu artinya juga kepada J-League, terlebih lagi setelah Irfan Bachdim sebagai salah satu penggawa tim nasional Indonesia hijrah ke sana untuk membela Ventforet Kofu.

Ini adalah terjemahan wawancara yang dilakukan salah satu media yang khusus membahas sepak bola Jepang dalam bentuk publikasi e-magz. Terima kasih kepada JSoccer Magazine (thanks Alan!) yang sudah berbagi gratisan dari edisi ke-11 mereka, dan membahas Irfan, dan menjadikan fotonya sebagai cover, DAN ucapan selamat datangnya dalam bahasa Indonesia.

Mereka menjadi media pertama yang mewawancarai Irfan saat sampai di Jepang.

Optimisme terlihat dari Bachdim, jauh sebelum kenyataannya ia belum juga dimainkan oleh klub hingga pekan ke-28, saat saya menerjemahkan wawancara ini, dan semoga ia sanggup mendapatkan debut sebelum J-League 2014 berakhir!

JSoccer (JS): Selamat datang ke Jepang. Selamat datang ke J-League. Kedatangan Anda menjadi berita yang cukup besar di negara asal Anda, Indonesia. Dan, tentu, J-League, dan Ventforet Kofu khususnya akan berharap sebagian dari penggemar Anda mengikuti kabar ini dan mulai mengikuti bahkan menyukai J-League dengan adanya kesepakatan baru yang dibuat J-League di Indonesia.

Irfan Bachdim (IB): Terima kasih, saya merasa bangga bisa bermain di sini mewujudkan mimpi bermain di level tertinggi sepak bola di Asia.

JS: Ceritakan kepada kami bagaimana Anda bisa sampai berada di Ventforet Kofu...

IB: Direktur Pemasaran Luar Negeri di Chonburi, Atsuo Ogura, bertanya apakah saya tertarik dengan peminat dari klub-klub Jepang dan melakukan uji coba. Saya, tentu saja, membalas, bahwa saya tertarik untuk melakukannya dan saya dihubungkan dengan perwakilan J-League, Kei Koyama dan di sinilah saya. Begitu ceritanya, berawal dari hal yang kecil.

JS: Apa target Anda untuk musim ini di Jepang?

IB: Awalnya saya hanya ingin bermain sebanyak mungkin, dan kita lihat dari sana.

JS: Bagaimana rasanya dalam waktu yang sebentar di Ventforet bagi Anda?

IB: Sejauh ini semua berjalan sangat bagus di Kofu. Saya kagum dengan klub ini dan, tentu, kotanya yang indah. Klub ini punya dasar yang bagus dan beberapa pemain bagus.

JS: Apa yang Anda tahu tentang sepak bola Jepang?

IB: Saya tahu sepak bola Jepang yang terbaik di Asia dan pertandingannya dimainkan dengan tempo yang tinggi. Seperti yang saya sukai, jadi saya tidak sabar bermain di J1!

JS: Bagaimana Anda membandingkan Jepang dengan Thailand, dan sepak bola Indonesia, dari segi teknik, latihan?

IB: Semua hal di Jepang jauh lebih profesional dibandingkan di Indonesia atau Thailand. Dari manajemen sampai ke pemain. Dan para pemain, tentu, punya teknik yang hebat, begitu juga dengan daya tahan dan stamina.

JS: Momen terindah Anda di Chonburi?

IB: Sayangnya saya tidak punya momen terindah di Chonburi. Itu bukan musim yang bagus bagi tim atau saya. Musim tanpa trofi!

JS: Jadi, apa yang salah di Chonburi?

IB: Saya rasa saya menyalahkan diri saya sendiri karena masa-masa sulit di Chonburi. Saya tidak menikmati sesi latihan. Secara mental, jujur saja, saya tidak senang. Tapi tentu saya harus melupakannya dan saya telah belajar dari pengalaman.

JS: Seberapa mendukung Chonburi dalam membantu Anda pindah ke Jepang?

IB: Chonburi sangat mendukung kepindahan saya. Mereka tahu seberapa besar saya menginginkan ini untuk terjadi. Jadi saya berterima kasih mereka membiarkan saya pergi.

JS: Apakah Anda punya pesan untuk pendukung Ventforet Kofu ...

IB: Saya harus berterima kaish atas dukungan menakjubkan dari pendukung Ventforet Kofu dan sambutan yang sangat hanya. Saya harap kami memiliki musim yang hebat. Saya harap saya bisa sering bermain dan menginspirasi para suporter dengan semangat saya. Saya tidak sabar memulai musim ini.

JS: ... dan untuk para penggemar Chonburi?

IB: Saya ingin berterima kasih kepada seluruh staff dan pemain di Chonburi FC, tapi khususnya terima kasih kepada para suporter. Mereka hebat dan saya tidak akan melupakan mereka selamanya!

Tentu, JSoccer Magazine tidak hanya membahas Irfan pada edisi ini, untuk lihat yang lain-lain cek di sini. Cuma $3!

Oh iya, bila tertarik untuk tahu lebih banyak tentang Irfan ketika masih membela Chonburi FC di Thailand, bisa juga dicek wawancara lainnya dengan Thai-Fussball.

Wednesday, 8 October 2014

De Gea: Dari Krispy Kreme Hingga Petr Cech

Satu, dua, tiga, empat penyelamatan dilakukan David De Gea saat Manchester United menjamu Everton di Old Trafford.

De Gea memang tidak mendapatkan clean sheet, ia juga tidak mendapatkan gelar Man of The Match di matchday Premier League ketujuh. Namun, aksi-aksinya di laga tersebut menyelamatkan tiga poin bagi tim asuhan Louis van Gaal. Kini Man. United menempati peringkat empat besar di klasemen sementara.

Sejak awal laga kemungkinan Man. United untuk tidak kebobolan memang kecil, satu-satunya pertandingan musim ini di mana the Red Devils mendapatkan clean sheet terjadi ketika bertandang ke Burnley. Bisa dibayangkan bila mereka harus menghadapi Everton, yang hingga pekan keenam hanya kalah agresif dari Chelsea (19) dan menghasilkan sama banyak gol dengan Manchester City (12).

Hingga peluit panjang ditiup, Everton melepaskan enam tembakan ke arah gawang. Salah satunya, dan momen terpenting, ketika De Gea sukses menghalau sepakan 12 pas dari Leighton Baines, yang sebelum pertandingan ini sukses mencatatkan 14 gol dari titik putih secara berturut-turut.

Tidak ayal Daily Mail menuliskan, "stellar performance against Everton". Diikuti oleh Daily Mirror yang memasukkan nama De Gea dalam Premier League XI pekan ini. Pujian juga dilontarkan the Guardian, "he is in the finest form of his career." Media-media asal Spanyol juga tidak turut ketinggalan, tengok saja salah satunya saat Marca menampilkan "De Gea's heroics". Semua kompak mengacungkan jempol bagi kiper berusia 23 tahun tersebut.

Padahal tiga musim yang lalu De Gea begitu dibebani dengan tekanan sebagai kiper termahal Premier League dengan 18 juta Pound dan yang terutama menggantikan posisi Edwin van der Sar.

Dalam laga-laga awal performa juara Piala Eropa U-17 dan U-21 itu juga tidak membantu. Ia buruk dalam menentukan timing loncat, bola-bola dari luar kotak penalti Man. United pun masuk dengan mudah. Belum lagi masalah fisiknya. Badannya dianggap terlalu kurus dalam persaingan Premier League yang sangat mengandalkan fisik sehingga membuatnya sering kalah dalam memperebutkan bola di udara.

Kritikan mengalir deras, membuat tekanan yang begitu besar dan niat untuk menyerah sempat terlintas di benak De Gea. "Kadang-kadang" jawabnya tentang apakah ia pernah ingin meninggalkan Man. United. Beruntung ia mengurungkan niat tersebut.

De Donut
Di tengah keraguan apakah De Gea benar-benar bakat yang menjanjikan atau justru menjadi flop ketika datang dari Ateltico Madrid, sang kiper juga punya gaya hidup yang kurang mendukung.

"Ia hanya tidur dua atau tiga jam sehari. Jam makan utamanya pada larut malam," kata mantan pelatih penjaga gawang Man. United, Eric Steele, soal De Gea dalam United We Stand.

De Gea juga sempat tertangkap basah mengutil dari Tesco. Di tengah kritik sebagai kiper baru Man. United, ia bersama dua teman dari Spanyol terlihat di CCTV mengambil donat secara diam-diam dari rak jualan Krispy Kreme dan berusaha pergi tanpa membayar. Sebelum akhirnya diberhentikan oleh pihak keamanan.

Namun nasib baik kemudian datang pada kiper kelahiran Madrid itu. De Gea mulai fokus untuk memperbaiki performanya, terutama aspek fisik. Steele membuatnya berlatih berjam-jam di gim, hal yang tidak disukai si penjaga gawang tapi ia sadar semua bagian dari pekerjaan.

Perlahan tapi pasti De Gea mengukuhkan dirinya sebagai pemain favorit Red Army. Ia menjadi bagian penting dalam trofi Premier League terakhir persembahan Sir Alex Ferguson, sehingga pantas masuk ke Tim Terbaik Premier League 2012/2013. Performanya terus meningkat, terlebih lagi dalam musim lalu.

Di tengah-tengah buruknya performa Wayne Rooney dan kawan-kawan di bawah arahan David Moyes, kiper kedua timnas Spanyol itu dibuat bekerja keras mengamankan gawangnya. Tapi, De Gea berhasil. Setelah melewati musim pertamanya di mana ia mendapat tekanan untuk membuktikan diri, di musim kedua ia sukses menjawab harapan untuk menggantikan van Der Sar, maka di musim ketiga ia sukses merebut hati para pendukung Man. United. Tidak heran ia mendapatkan dua gelar sebagai Pemain Terbaik versi klub, dan versi suporter Man. United di 2013/2014.

Berganti manajer tidak kemudian membuat De Gea mengendurkan fokus. Justru bersama staff pelatih baru di bawah Van Gaal, De Gea terus berkembang. Khususnya pelatih kiper, Frans Hoek. Sosok yang juga menangani Van Der Sar ketika masih bermain untuk Ajax Amsterdam di era 1990-an.

"Salah satu pelatih terbaik yang pernah saya lihat," puji De Gea dalam Daily Mail.

Memang sejauh ini penempatan posisi De Gea terlihat lebih baik. Atau, lebih tepatnya "terlihat mengkhawatirkan" bagi Andres Lindegaard yang tampaknya tidak memiliki kesempatan menggeser kiper utama Man. United. Dan bila Petr Cech turut memberikan komentar positif, agaknya kita juga harus mengangguk pada tweet Mr. Zero yang satu ini.

"Some people will still say that the keepers shouldn't use the opposite hand :-) what about this ..." tulisnya, lengkap dengan emoticon.

Berawal dari keraguan, De Gea sukses membalikkannya menjadi kepercayaan, juga pujian. Setelah membuat jejak di level klub. Tujuan selanjutnya untuk menggeser Iker Casillas di level internasional bukan lagi misi yang mustahil.

Wednesday, 1 October 2014

Siapa Sih: Daley Sinkgraven

Ada sensasi baru di lini depan Heerenveen.

**

Tampil di hadapan pendukung sendiri Heerenveen tidak diunggulkan melawan PSV Eindhoven, Minggu (28/9). Tapi, yang terjadi justru berbeda.

Dari sedikit kesempatan yang didapatkan tuan rumah. Sinkgraven mengisi posisi yang tepat di menit ke-78, ia lepas dari penjagaan lini belakang PSV. Usianya masih muda tapi ia tidak terburu-buru, dengan tenang ia menggiring bola masuk ke kotak penalti untuk memastikan tendangannya tidak melambung ke atas mistar gawang dan melalui sepakan keras ia mencatatkan namanya ke daftar pencetak gol.

Sinkgraven menjadi satu-satunya pencetak gol di pertandingan tersebut. Membuat PSV kehilangan keunggulan poin mereka di puncak klasemen Eredivisie.

**

Ia jelas tidak akan berkontribusi layaknya Alfred Finnbogason, yang menjadi pencetak gol utama Heerenveen sekaligus menggeser Graziano Pelle dari daftar penyerang tersubur di Eredivisie musim lalu, dan masih terlalu dini untuk menyandingkannya dengan para mantan pemain lain yang telah lebih dulu dikenal pada level internasional.

Seperti yang sudah-sudah, Heerenveen punya caranya tersendiri untuk menghasilkan pemain. Yang satu pergi, lalu muncul kembali penggantinya pada musim berikutnya.

Sebut saja: Abe Lenstra, Klaas-Jan Huntelaar, Ruud van Nistelrooy, Jon Dahl Tomasson, Georgios Samaras, Daryl Janmaat, Michael Bradley lalu Miralem Sulejmani, Viktor Elm, Lasse Schoene, Christian Grindheim dan musim lalu, Finnbogason. Semua pernah membela klub Friesland ini.

Begitu juga yang terjadi pada Sinkgraven. Pelatih musim lalu, Marco van Basten, memberikannya kepercayaan di separuh musim setelah menggantikan Magnus Eikrem yang hengkang di jendela transfer musim dingin.

Sinkgraven menghabiskan 17 pertandingan bersama Heerenveen dari 18 Januari sampai 7 Mei dalam berbagai posisi di sektor tengah. Van Basten kemudian meninggalkan klub tersebut, tapi beruntung penggantinya, Dwight Lodeweges, tidak mengubah kebijakan untuk menaruh kepercayaan para pesepak bola berusia 19 tahun itu.

Di bawah arahan Lodeweges, Sinkgraven mendapat peran yang lebih spesifik sebagai pengatur serangan dan sejauh ini di musim 2014/2015 ia semakin menjadi-jadi dalam menunjukkan bakatnya sebagai produk terbaru akademi Heerenveen.

Untuk perbandingan, musim lalu ia tampil sebagai pemain pengganti pada 10 dari 17 laga, menghasilkan 19 kesempatan bagi rekan-rekannya. Catatan itu akan dilampaui dengan mudah mengingat musim ini ia selalu tampil sejak menit pertama, enam dari enam laga, dan sudah membuat 13 kesempatan bagi rekan-rekannya.

Dari jumlah operan pun terlihat Sinkgraven kini menjadi jantung permainan Heerenveen. Jika musim lalu ia menciptakan rataan 15 operan per laga, sekarang sanggup mencapai 41 setiap pertandingan.

Permainannya yang kini lebih agresif karena penempatan posisinya di sepertiga daerah serangan sudah berbuah dua gol, dan dari banyaknya pertandingan yang masih akan dimainkan jumlah itu kemungkinan besar dapat bertambah.

Memang, performa Sinkgraven masih inkonsisten tapi bila semua berjalan lancar maka pemain kelahiran Assen ini dalam beberapa musim ke depan menjadi Sinkgraven yang namanya dikaitkan dengan klub-klub Premier League.

Atau Barcelona, klub impiannya.

Atau Premier League. I'd like to put him in my FPL team and say, "I knew him before he was cool." Ha.

Thursday, 18 September 2014

Cerita Panjang Pardew yang Singkat dengan Newcastle

Dua musim lalu Alan Pardew adalah pahlawan bagi Newcastle United, ia membawa Magpies mencapai "prestasi" terbaik mereka sejak 1996-1997, tapi sekarang ia menjadi antagonis bagi Toon Army.

Cerita antara Pardew dan Newcastle memang tidak berjalan baik sejak ia menginjakkan kaki di sana. Lagipula manajer mana yang ingin berada di posisinya saat itu, menggantikan Chris Hughton di pertengahan musim, manajer yang membawa tim berseragam hitam-putih itu promosi--dengan hanya empat kali kalah di divisi Championship--dan pemecatannya tidak dapat dipungkiri menjadi hasil dari keputusan mengejutkan. Banyak pihak yang mengecam keputusan Mike Ashley kala itu.

Beruntung bagi Pardew, ia sukses menjalani pertandingan pertamanya. Bahkan bisa dikatakan terlalu manis--manis diabetes?--Newcastle menang 3-1 atas Liverpool di kandang sendiri dan perlahan rasa kesal atas kepergian Hughton mereda. Puncaknya terjadi pada musim penuh pertama Pardew, di 2011/2012.

Pria yang pernah bekerja sebagai tukang kaca itu memberikan musim terbaik Newcastle sejak 17 tahun silam ketika mereka finis sebagai runner-up Premier League. Pardew terbang tinggi, ia membawa timnya melaju 11 pertandingan tidak terkalahkan di seluruh kompetisi dan menutupnya dengan menduduki peringkat kelima di akhir musim sekaligus mendapatkan tiket ke Eropa.

Fantastis! Apa yang lebih fantastis dari itu? Pardew memenangkan gelar Manajer Terbaik 2011/2012. Tidak diragukan lagi, para suporter Newcastle pun terbuai dengan hal tersebut dan kontroversi penunjukkannya di Desember 2009 yang lalu pun menguap.

Tunggu dulu, bahkan ada yang lebih fantastis, ia mendapatkan perpanjangan kontrak dari Ashley--bukan empat musim seperti yang diberikan Aston Villa kepada Paul Lambert baru-baru ini--tapi delapan musim.

Ya, delapan musim. Artinya hingga 2020.

Akan tetapi, angin di puncak bukit bertiup terlalu kencang, para pemain andalan Newcastle satu per satu lepas dari genggaman Pardew dan begitu juga dengan performa timnya yang lalu menurun.

Puncaknya setelah ditinggal Yohan Cabaye menuju Paris Saint-Germain di Desember 2013, The Toon lesu bahkan mereka harus berjuang menjauhi zona merah pada akhir musim. Singkat cerita mereka berhasil dan masuklah musim baru, mulai dari nol.

Tujuh pemain didatangkan pada transfer jendela musim panas untuk menjaga agar Newcastle tidak kembali terbelit situasi musim lalu, nama-nama yang cukup kece pula, seperti: Remy Cabella, Siem de Jong, Emmanuel Riviere dan salah satu pemain yang namanya cukup sering terdengar di Piala Dunia, Daryl Janmaat. Optimisme pun timbul.

Namun, yang namanya kenyataan memang sering berjalan beda dari keinginan--iya, klise--dan rival dari Sunderland ini justru terdampar di dasar klasemen. Hasil dari dua kali seri dan dua kali kalah.

Seketika suporter Newcastle teringat bahwa Pardew memang bukan sosok favorit di antara mereka. Toh, di hari penunjukkannya sebagai manajer di klub itu ia hanya mendapat persetujuan dari 5,5% suporter, sebegitu tidak populernya.

Hal ini mengingatkan pada Hamburg SV. Kondisi kedua klub, secara performa, tidak jauh berbeda. The Dinosaurs terperosok ke bagian bawah klasemen ketika ditangani oleh Bert van Marwijk, kemudian Mirko Slomka datang dan berhasil lolos dari degradasi, meski harus melalui play-off. Tapi, pria yang sama gagal mengangkat permainan tim asuhannya musim ini dan ia didepak setelah sekali seri dan dua kali kalah. Sama seperti Newcastle, die Rothosen menduduki peringkat terakhir.

Bila manajemen Hamburg memutuskan bergerak cepat demi menghindari skenario yang terjadi musim lalu, Ashley sebagai pemilik klub bertahan dengan Pardew. Mungkin besarnya kompensasi dari kontrak super panjang menjadi pertimbangan? Mungkin saja, mengingat ia sebagai pribadi yang "perhitungan".

Hanya saja pada banyak klub suara suporter cukup menentukan dan melihat bagaimana vokalnya para suporter Newcastle usai tim kesayangan mereka digilas 0-4 oleh Southampton di St. Mary's, nasib Pardew sangat mungkin bergantung pada skor akhir pekan ini ketika Magpies melawan Hull City di St. James Park, bukan tidak mungkin hari-hari Pardew di Tyneside berakhir lebih cepat dari kontraknya.

Lagi pula, posisi manajer di dunia sepak bola persis seperti kata Sam Longson kepada Brian Clough:
"Last of all, bottom of the heap, the lowest of the low, comes the one who in the end we can all do without, the f******g manager."

Wednesday, 2 July 2014

Lampard Spoke Bahasa Indonesia

Had this, absurd, dream...

Was met Frank Lampard in England shirt, that's just quite normal.

Then I interviewed him about Diego Costa coming to Chelsea and Mourinho's pick on Thibaut Courtois or Petr Cech, replied with all those diplomative-save-answers.

........

But the big news was he answered it all in BAHASA,  never guess that one coming.

Of course I asked him, when did you learn to speak in Bahasa? He just can, well, that messed up.



............................




..............

....

The hell if it means Chelsea win Premier League next season, or Lampard move to ISL, yes, that one, that'll be better though. Ended up work as cashier in kelontong shop.

All these World Cup matches, too much football?

Tuesday, 22 April 2014

Adu Jago Ancelotti dan Guardiola di Santiago Bernabeu

Tidak sedikit yang mengatakan pertandingan antara Real Madrid dan Bayern Muenchen sebagai final yang kepagian, apa pun itu laga ini tepat dirayakan sebagai pesta sepak bola.

Kemampuan taktik kedua pelatih, Carlo Ancelotti dan Pep Guardiola, tidak perlu diragukan lagi. Saat keduanya bertemu dengan tim masing-masing di lapangan akan menarik untuk melihat siapa yang keluar sebagai pemenang.

Saya cukup yakin tidak ada parkir bus seperti yang Chelsea lakukan terhadap Atletico Madrid di Vicente Calderon, Jose Mourinho memang mengatakan bukan niatnya untuk mencari skor imbang, 0-0, namun di saat bersamaan permainan yang diperagakan The Blues jelas terlihat berusaha mencuri gol dari set-piece alih-alih merencanakan serangan balik efektif.

Ancelotti, sebagai seorang Italia dan lulusan Coverciano, pusat pelatihan pelatih sepak bola negeri Pizza tersebut, punya reputasi sebagai seorang yang handal meramu taktik. AC Milan pernah dia bawah menjadi juara Liga Champions dua kali, Chelsea dan Paris Saint-Germain pernah merasakan sentuhan tangan dinginnya, Madrid baru saja dibawanya menjuarai Copa del Rey dengan mengalahkan rival abadi, Barcelona, di Stadion Mestalla.

Setelah di awal musim perjalanan Madrid kurang mulus, kalah dua kali sebelum Oktober, namun perlahan-lahan Los Blancos mulai dapat beradaptasi dengan permainan bola-bola pendek yang diinginkan Ancelotti dan kini kembali sebagai penantang kuat untuk gelar juara La Liga.

Apakah dengan formasi "Pohon Natal" yang terkenal bersama Milan atau 4-3-3 bersama Madrid musim ini, Don Carlo punya pengalaman lebih dari cukup untuk diadu dengan manajer mana pun.

Lawannya, Guardiola, seorang perfeksionis yang bila boleh dikatakan, terobsesi, dengan pendekatan possession football. Didikan Johan Cruiyff yang pada kariernya gemilang sebagai pemain "nomor enam" kala maestro sepak bola Belanda tersebut menangani Barcelona.

Musim ini Guardiola mendominasi Bundesliga, banyak yang mengatakan semua terjadi karena liga Jerman tidak kompetitif dan Bayern diisi oleh kumpulan pemain terbaik di sana.

Yang justru menarik adalah setelah ditinggal Jupp Heynckes performa Bayern bukan hanya bertahan tapi juga meningkat, mengeksplorasi kemungkinan baru, mulai dari Phillip Lahm yang dijadikan gelandang bertahan, revitalisasi Rafinha, Arjen Robben yang tampil sebagai pemain kunci die Roten. Guardiola bukan hanya mempertahankan kualitas juara namun juga menghembuskan nafas baru bersama raksasa Jerman itu.

Baik pelatih atau tim adalah salah satu yang terbaik di Eropa, melihat mereka berduel membuat saya teringat dengan adegan tarung Iko Uwais dan Cecep Arif Rahman di The Raid 2. Memang final yang kepagian dan bukan bagian akhir cerita tapi pantas untuk dinantikan!

*Artikel ini pertama kali  muncul di Sportsatu.com, Rabu (23/4).

Wednesday, 16 April 2014

Keraguan Pada Messi di Final Copa del Rey

Cristiano Ronaldo dipastikan tidak tampil membela Real Madrid untuk menghadapi Barcelona di final Copa del Rey kali ini, namun apakah Lionel Messi akan memastikan gelar jatuh ke tangan Azulgrana?

Dengan tidak adanya Ronaldo yang absen karena cedera, alasan yang harus diakui jarang terdengar darinya, Madrid harus kehilangan pemain yang digambarkan oleh Iker Casillas sebagai "pembuat perbedaan".

Sedangkan di kubu lawan, Barcelona, Messi dapat dipastikan turun sejak menit pertama. Tetapi harus diingat, performanya belakangan ini juga di bawah rata-rata, yang paling mencolok adalah pada dua pertandaingan terakhir, melawan Atletico Madrid dan Granada.

Di leg kedua perempat final Liga Champions, Messi, peraih empat kali Ballon d'Or, hanya berlari sebanyak 6,8 kilometer walau bermain penuh selama 93 menit, cuma 1,5 kilometer lebih banyak dari Jose Manuel Pinto dan jelas kalah jauh dari pencetak gol kemenangan Los Colchoneros, Koke, yang meraup 12,2 kilometer.

Operan yang dibuat Messi hanyalah 76% dengan tidak ada gol tercipta dari empat percobaan, bagi pemain sekelasnya catatan ini termasuk buruk.

Kembali ke liga, Messi diharapkan tampil lebih baik. Lawan yang dihadapinya "hanya" Granada, tim peringkat 13 dengan enam poin di atas zona degradasi.

Meski secara keseluruhan Barcelona tampil jauh lebih baik, boleh juga digolongkan kurang beruntung. Namun, yang terjadi terhadap Messi sama memfrustasikan seperti menghadapi Atletico.

Messi sukses tampil penuh, statistik sembilan kali berhasil melewati pemain sedikit mencerahkan tetapi tertutupi oleh catatan tidak ada gol dari lima kali percobaan ke gawang dan sekali lagi, operan yang dicatatkannya hanya 76%.

Memang menjadi ceroboh bila mengaitkan Messi "bosan dengan keadaan di Barcelona", seperti tutur Angel Cappa, mantan asisten manajer Blaugrana, dan mencoba mencari tantangan baru. Fase yang sedang dilaluinya saat ini pernah dialami pada awal 2014 usai cedera dan setelahnya The Messiah mampu bangkit, salah satunya mencetak hattrick melawan Madrid pada akhir Maret.

Hanya saja, waktu sedang tidak tersenyum pada Messi. Pada tahap ini tidak banyak pertandingan tersisa untuk menunggu pemain asal Argentina itu kembali ke performa yang dinantikan darinya, khususnya melawan Madrid di final Copa del Rey.

25 gol dari 26 laga La Liga memang tidak buruk, tapi tidak cukup bagus untuk Messi. Atau, laga ahad menjadi momen yang tepat bagi Gareth Bale dan Neymar tampil sebagai ikon kedua klub?

*Artikel ini pertama muncul di Sportsatu.com, Selasa (15/4/2014).

Thursday, 10 April 2014

Evra Effect di Allianz Arena yang Menghibur

Saya tidak menyesal saat melewatkan pertandingan Chelsea dan Paris Saint-Germain, meski di dalamnya Anda dapat melihat comeback luar biasa skuat The Blues. Namun, dari jauh-jauh hari saya sudah antisipasi agar tidak kelewatan leg kedua Bayern Muenchen dan Manchester United.

Bukannya saya melihat Man. United punya harapan, saya justru menganggap "kemenangan moral" The Red Devils di Old Trafford dalam leg pertama sudah menjadi usaha maksimal yang bisa didapat David Moyes.

Jangan salah melihat rekor baik Man. United sebagai tim dengan catatan tandang paling bagus di Premier League, perolehan angka mereka tidak mampu berbuat banyak di Allianz Arena. Mudahnya, karena kedua tim berada di level permainan yang berbeda.

Lalu apa yang kita lihat di kandang Bayern? Bukannya Die Roten terlihat kesulitan mengembangkan permainan melawan Man. United? Tidak juga, bila Anda melihat penjabaran lengkap Michael Cox di The Guardian tentang laga itu, justru Pep Guardiola yang kelewat kreatif yang mempersulit diri sendiri saat sebenarnya permainan biasa mereka bisa mengalahkan sang juara bertahan Premier League.

Taktik yang diterapkan oleh Moyes tepat seperti yang diperkirakan Guardiola, "Dengan delapan atau sembilan pemain yang bertahan dengan lini pertahanan yang dalam."

Dengan pemahaman bersama bahwa Guardiola adalah salah satu pelatih sepak bola paling brilian saat ini, mengetahui soal bahkan sebelum tes dimulai rasanya sulit bila kemudian masih berharap Man. United bisa meraih hasil di leg kedua.

Rasanya, lolos ke semifinal seperti berharap pada keajaiban. Anda tidak mengharapkan kejadian Ole Gunnar Solskjaer dan Teddy Sheringham terulang setiap tahun, kan?

Tapi, setelah mengatakan hal tersebut Man. United juga tidak menyerah begitu saja, diawali dengan serangan di sisi kanan yang dikawal oleh Antonio Valencia, Mas Toni melepas umpan yang awalnya tampak tidak jelas juntrungannya, kepada siapa dan saat itu Danny Welbeck juga Wayne Rooney sama bingungnya, harus diapakan bola ini. Hingga Patrice Evra berlari dari belakang, BANG! masuk mulus yang membuat lini massa Twitter bergemuruh!

Ya, ya, gol itu bertahan tidak sampai semenit, 20-30 detik mungkin dan kita tahu setelahnya Bayern tersontak sadar untuk memainkan performa terbaik mereka, yang telah ditunjukkan sepanjang musim di Bundesliga.

Namun dengan gol Evra tersebut, tidak ada caci maki lebih dari yang awaknya diperkirakan, seperti ada perasaan, "ya bolehlah, udah usaha." Mengingat apa yang terjadi pada Man. United sepanjang musim, tersingkir oleh Bayern bisa jadi penghargaan tertinggi di Liga Champions musim ini. Toh, bila pasukan Guardiola menang pada pendukung Setan Merah bisa bilang mereka kalah dari sang juara, tim pertama di era Liga Champions yang sanggup mempertahankan gelarnya di Eropa.

Saat PDI-P melihat pengharapan pada Jokowi Effect mereka tidak seefektif yang awalnya diharapkan, pendukung Man. United sedikit lebih tenang dengan hujatannya kepada Moyes, semua berkat Evra Effect.

A glimpse of seconds when you dare to dream...

Thursday, 3 April 2014

Kemenangan Kecil Moyes

Sebelum leg pertama perempat final Liga Champions di Old Trafford dimainkan saya teringat bagaimana teman-teman saya mengucapkan "bela sungkawa" mereka setelah undian mempertemukan Manchester United dengan Bayern Munich.

Pertemuan dengan Bayern seakan menjadi hukuman mati, setidaknya begitu menurut teman lainnya yang merupakan suporter Arsenal. Dua musim berturut-turut tim kesayangannya tersingkir oleh Die Roten, tentu dia lebih dari paham bagaimana perasaan pendukung Man. United ketika dihadapkan dengan sang juara bertahan.

Belum lagi bila membahas tidak meyakinkannya permainan Man. United musim ini. Dari rekor menghadapi empat tim teratas Premier League, The Red Devils hanya sekali menang, atas Arsenal, bagaimana jadinya melawan Bayern yang musim ini sangat mendominasi Bundesliga? 53 pertandingan tidak terkalahkan berturut-turut, yang benar saja!

Terlepas dari kekhawatiran para pendukung Man. United, Moyes ternyata punya jawabannya sendiri.

Sadar tidak bisa mengungguli Bayern dalam urusan penguasaan bola, Moyes membiarkan bola di kaki pasukan Pep Guardiola dan menumpuk lima pemain di lini tengah dengan Wayne Rooney tampil sebagai ujung tombak serangan balik untuk menghadapi tujuh gelandang yang diturunkan tim lawan.

Moyes membuat permainan yang diterapkan Man. United simpel: tahan serangan Bayern, berikan kepada Rooney dan biarkan Danny Welbeck berlari mengejar bola. Melihat FC Hollywood harus melayangkan delapan tembakan dari luar kotak penalti dan hanya satu dari total 16 percobaan yang bersarang di gawang David De Gea, sah-sah saja menyatakan pertahanan Setan Merah menjalankan tugasnya dengan baik.

Bahkan skema tersebut hampir melambungkan Moyes ke langit ketujuh saat Rooney membuat Welbeck berada dalam kesempatan emas satu lawan satu dengan Manuel Neuer, yang kemudian terbuang percuma karena penyelesaian amatir anak lokal Greater Manchester tersebut.

Man. United yang dianggap sebagai underdog di laga ini tentu mendapatkan kemenangan moral. Hiburan setelah membuktikan diri mereka lebih dari sekadar pelengkap di perempat final, walau pada kondisi sebenarnya Bayern tetap diunggulkan berkat gol tandang mereka.

Selain agregat, hal lain yang membuat saya kian khawatir adalah kemampuan Guardiola membaca situasi dan membuat tim asuhannya beradaptasi untuk meraih kemenangan. Ketika banyak pihak merasa kesuksesannya saat menangani Barcelona diraih berkat bakat luar biasa para pemainnya, Andy West bersikeras pemuka sepak bola aliran La Masia itu dianugerahi bakat observasi luar biasa yang membuatnya unggul dibanding manajer lain.

Sejalan dengan keraguan saya terhadap Moyes dapat memberikan kejutan lain bersama Man. United pada leg kedua, semakin jelas hasil seri ini hanya kemenangan pertempuran kecil dan perang besarnya menanti di Allianz Arena.

Tuesday, 25 March 2014

Man. United dan Harapannya Melawan Bayern

English-German classic encounter, we know who's the winner anyway.
Segera setelah Manchester United dipastikan melaju ke perempat final Liga Champions, hal yang terbayang di kepala saya adalah lawan yang menanti. Dibandingkan dengan tim lain jelas anak asuh David Moyes bukan siapa-siapa.

Marca memang menuliskan perempat final Liga Champions kali ini adalah yang terbaik, memuat semua tim yang tampil bagus di liga masing-masing, PSG, Atletico, Real Madrid, Chelsea, Bayern Munich dan di antara mereka terselip Man. United. Seperti David Nalbandian di antara Roger Federer, Novak Djokovic dan Rafael Nadal, apa yang bisa dia lakukan? Kemungkinan besar hanya melengkapi jumlah pemain.

Lalu beberapa hari kemudian, Jumat, tibalah hari pengundian tim. Kemudian seorang teman, pendukung Arsenal, dengan antusias memberitahu Man. United akan bertemu Bayern. Twitter pun menggila, Setan Merah bertemu Si Merah, tidak ada kesempatan.

Semua yang bisa menggunakan akal sehat tentu sadar akan itu, bila boleh memilih lawan yang saya anggap paling realistis adalah Borussia Dortmund. Belakangan performa mereka sedang jalanan di Tangerang Selatan yang ditinggal walikotanya bolak-balik ke pengadilan, pendeknya, kurang sedap dipandang.

Namun apa mau dikata, lawan sudah ditentukan, Man. United akan melawan Bayern. Sekadar saran, bila ada dari Anda yang masih berharap Moyes bisa mengalahkan Guardiola maka ada baiknya Anda tetap tidur, mimpi Anda mungkin dapat mengabulkannya, mungkin. Dan jangan sekali-kali menyinggung tentang apa yang terjadi di Barcelona pada 1999.

Tapi di antara semua yang akan berjalan buruk bagi Man. United tetap punya hal positif untuk dinanti. Pertama, kebobolan hanya menghentikan menit bermain. Menit pertama, 15, ujung babak pertama, awal babak kedua, cepat atau lambat kita semua tahu Mario Mandzukic akan mencetak gol ke gawang David De Gea, untungnya jika hal itu tidak terjadi tebak siapa yang akan tertawa terbahak-bahak?.

Kedua, Man. United tidak perlu bersusah payah mendominasi permainan. Bahkan Manchester City pun tidak bisa melakukannya, tidak ada yang akan menyalahkan Wayne Rooney Cs. bila penguasaan bola berada di tangan Bayern, Guardiola sangat ahli dalam membuat tim asuhannya melakukan hal tersebut dan mengingat apa yang sudah-sudah melawan Barcelona, Anda bisa membayangkan sendiri, dan jika hal itu tidak terjadi tebak siapa yang akan tertawa terbahak-bahak?

Ketiga, percuma bicara tentang "Never Say Die United". Lupakan ingatan indah Anda tentang Man. United di era Sir Alex Ferguson, Anda kini bersama Moyes. Ditambah dengan laga pertama terjadi di Old Trafford, harapan terulangnya momen melawan Olympiakos sangatlah kecil, mikroskopik.

Yang justru lebih mungkin terjadi, jika entah bagaimana leg pertama memihak pada The Red Devils, Bayern akan membalikkan hasil tersebut di Allianz Arena, dengan penguasaan bola di atas 60%, operan terobos Thiago Alcantara, tembakan jarak jauh Toni Kroos, pemanfaatan ruang dari Thomas Muller, over-lap David Alaba, tapi jika hal itu tidak terjadi tebak siapa yang akan tertawa terbahak-bahak?

Siapa? Bukan pendukung Man. United tentunya, kekalahan ke-10 di Old Trafford dari rival sekota mereka (26/3) membuktikan apa yang ada di atas ini memang skenario yang akan terjadi. Sudah saatnya kalimat pamungkas, "lihat musim depan", diucapkan. Sekarang pun mungkin sudah terlalu terlambat.

Tuesday, 25 February 2014

Kekalahan Man. United Merupakan Jalan Pintas Bagi Moyes

This could happen, even though with lesser team.
Masih teringat bagaimana senangnya para pendukung Manchester United mendapatkan Olympiakos di babak 16 besar. Lawan mudah, begitu yang terpikir dan memang tidak disalahkan, siapa juga yang akan menjagokan tim yang pencapaian terbaiknya di Liga Champions hanyalah perempat final.

Asumsi tersebut ditambah dengan catatan tidak pernah kalah Man. United dari wakil Yunani itu. Optimistis, meyakinkan, mungkin juga meremehkan tapi kebanyakan suporter The Red Devils lupa tentang usaha David Moyes memecahkan rekor yang sebelumnya bahkan tidak terpikirkan di era Sir Alex Ferguson.

Ya, Man. United kembali kalah. Mengejutkan mungkin, tapi sebenarnya jika melihat performa tim terbaik Yunani tersebut maka kemenangan mereka memang kemungkinan yang masuk akal. Bagaimana tidak, di liga domestik Olympiakos adalah raja. Mereka juara liga 40 kali dan musim ini berjalan baik bagi klub berjuluk Thrylos (artinya legenda dan apa pun yang bisa mendapat julukan seperti itu tidak bisa dianggap remeh), menang 24 kali dan seri dua kali. Mau dibandingkan dengan penantangnya dari Inggris? Rasanya kita semua mengerti performa Si Setan itu.

Tapi mari mengenyampingkan hal tersebut, toh Man. United juga rajanya Liga Inggris. Tidak seimbang membandingkan Hercules, Apollo atau Zeus dengan Benedict Cumberbatch dan Tom Hiddleston. Yang terlihat daripada permainan fantastis tuan rumah adalah Moyes gagal menunjukkan permainan standar, atau mereka tidak bermain sama sekali, dari skuat asuhannya. Lesu, tampak bingung, mendung. Bisa jadi juga sudah ada orang di luar sana yang mulai merasakan iritasi kulit karena permainan Man. United sangat terpaku pada umpan sayap.

Terlebih lagi melihat duet Michael Carrick dengan Tom Cleverley. Melihat Carrick-Cleverley bersamaan sejak menit awal seperti membeli tiket ke rumah hantu atau atraksi semacamnya, Anda tahu meski dapat melaluinya tadi selalu ada perasaan was-was. Benar saja, dua gol Olympiakos tercipta dari posisi yang sama, di depan kotak penalti dan tanpa mendapat kesulitan dari dua yang namanya baru disebut. Rasanya buruk, sama buruk ketika melihat muka Anwar Congo. Sepet.

Memang merisaukan dengan adanya kemungkinan terdepak di Liga Champions oleh Olympiakos, mereka sama sekali tidak dianggap sebagai kuda hitam, bahkan mungkin tidak ada yang melihatnya sebagai kuda. Namun jika mindset kita diputar sedikit kekalahan ini hanyalah usaha Moyes menaikkan profil dirinya.

Terakhir kali Man. United mampu membalikkan kekalahan 2-0 di leg pertama dan terus melaju ke ronde selanjutnya di Liga Champions terjadi pada 1984, saat itu bahkan mengalahkan Barcelona (masih diperkuat Diego Maradona). Tentu akan sangat keren bila Moyes bisa mengulang kejadian serupa dan membalikkan keadaan, ejakulasi! Meski lawannya hanya Olympiakos tapi dapat dipastikan menjadi cerita yang menghiasi tajuk utama koran olahraga Inggris di pagi harinya. 

Jika ada teman Anda yang mengatakan, "Lebay nyet, lawannya cuma Olympiakos". Jangan ragu untuk membalasnya dengan cerita hebat tentang siklus dari 30 tahun yang lalu. Karang saja sendiri, semakin banyak bumbu semakin bagus. Siapa yang dapat menyalahkan Anda, suporter Man. United terlalu sering dihadapkan pada kenyataan pahit belakangan ini.

Yang justru menarik kekalahan ini berpotensi menjadi cara curang, atau halusnya jalan pintas, Moyes untuk lepas dari tekanan, untuk mendapatkan pengakuan bahwa timnya memiliki DNA "Never Say Die United" yang sama dengan yang dibangun oleh Ferguson. Lalu bagaimana jika gagal? Ternyata Olympiakos justru mendapatkan kemenangan pertama di Old Trafford. Loh, yang seperti itu bukannya sudah biasa. Lagipula ada kesepakatan bersama bahwa Moyes memang pantas ditahbiskan sebagai "Sang Manajer Pemecah Rekor", seperti yang dikatakan Pangeran Siahaan.

Monday, 10 February 2014

Moyes yang Menyilang dengan Salah

Bukan salah jawab, lebih tepatnya salah baca soal

Manchester United kali ini memang tidak kalah, tapi bukan berarti tidak kalah mengecewakan. Bukan karena permainan negatifnya tapi justru karena ketidakmampuan Manchester Merah beradaptasi dengan jalannya pertandingan. Skor akhir tertulis 2-2, dengan gol Darren Bent menceploskan bola ke gawang tanpa kawalan--David De Gea lagi tiduran (jatuh)--di menit 94. 94 dari 95 men!

Jadi begini, bagi yang kebetulan tidak melihat pertandingan melawan tim asuhan Rene Meulensteen, Man. United sama sekali tidak bermain buruk, kecuali lini belakang yang tidak bisa dihitung karena mereka memang buruk sejak awal musim. Penguasaan bola Setan Merah mencapai 75%, mereka melakukan lebih dari 700 operan berbanding 200-an, diantaranya 82 umpan silang harus diakui semua tampak berjalan mulus tapi, dan ini penting, hanya 18 yang mencapai sasaran. Tanpa satu pun yang berhasil dikonversi menjadi gol.

David Moyes mengingatkan saya dengan anak kuliahan yang belajar kebut semalam sebelum ujian. Entah apa yang dan stafnya persiapkan namun mereka tampak tidak punya rencana cadangan. Mungkin mereka terlalu banyak bermain FIFA dan hanya mempelajari satu bab dari sekian banyak yang ditugaskan oleh dosen, mereka tidak menyiapkan jawaban yang cocok dengan pertanyaan dari Pak Dosen Meulensteen, sehingga apa pun soalnya jawabannya selalu, "serang dari samping" atau agar sedikit variasi "umpan silang", meski keduanya toh sama saja, sama-sama salah.

Memang kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Moyes, suksesor Sir Alex Ferguson ini mungkin terpengaruh karena banyaknya jumlah pemain sayap Man. United yang bisa beroperasi sebagai sayap. Lumrah jika eks gaffer Everton itu mengira bermain dari samping berarti mengandalkan umpang silang. Padahal tidak selalu begitu.

Ferguson pun yang identik dengan permainan sayap konvensional pernah memiliki Cristiano Ronaldo, jelas pemain Portugal itu bukan orang yang paling sering mengirim umpan silang, atau formasi tiga penyerang mengandalkan Ronaldo, Wayne Rooney dan Carlos Tevez. Setelah melewati masa David Beckham baru memasuki era Luis Nani, Ashley Young dan Antonio Valencia kemudian Man. United kembali memperbanyak jumlah operan silang mereka. Bukan berarti Moyes harus terpaku pada hal itu.

Ingat, manajer yang baru ini membeli Juan Mata, yang sebenarnya lebih merupakan pemain nomor 10, begitu pun adanya Shinji Kagawa. Mereka bisa menyalurkan bola dari tengah dengan bola-bola pendek mengingat Paul Scholes tidak ada lagi untuk mengirim bola jauh dari belakang mungkin langkah menaikan titik vokal serangan agak ke depan bisa dicoba sebagai variasi.

Sayangnya Mata punya potensi menjadi Juan Veron kedua, setidaknya jika musim depan tidak ada perubahan berarti dari segi taktik. Saya bisa tebak bila Moyes tinggal di Tangerang Selatan dan harus ke Bandung dia akan bersikeras melewati tol JORR meski harus bermacet-macetan karena perbaikan jalan tol sekitar Pasar Minggu, harus ada yang mengingatkannya bahwa sedikit memutar lewat tol dalam kota tak apa, jauh lebih lancar (bukan di jam pulang-pergi kantor), asal mau coba. 

Pada akhirnya, Moyes menyilang jawaban yang salah, karena menjawab soalnya dengan mengisi bundaran yang tersedia, jangan lupa pensil 2B-nya.

Thursday, 2 January 2014

Musim Man. United Buruk? Yang Benar Saja


"Jadi pindah?" "Bebas, gue ngikut aja"
Manchester United adalah Sir Alex Ferguson, cerita sukses mereka memang bisa dirunut dari masa kepemimpinan Sir Matt Busby tapi Man. United tidak akan menjadi brand mendunia jika bukan karena tangan besi penjelajah Skotlandia tersebut, yang pertama disebut, tentu saja. Era Premier League menjadi penanda masa keemasan bagi Setan Merah dan pendukungnya, setidaknya sampai Fergie memutuskan pensiun.

Berganti masa memang tidak mudah, bagi siapa pun, bagi apa pun, sama halnya untuk Man. United. Mengarsiteki klub tersukses di Inggris ini bukan seperti mengganti baterai habis. Satu orang Skotlandia tidak sama dengan orang Skotlandia lainnya. David Moyes “naik jabatan”. Dari seorang kandidat suksesor menjadi pemangku jabatan baru yang meneruskan kiprah Ferguson, setidaknya begitu rencananya.

Tapi nyatanya tidak semudah itu. Semasa jabatannya di Everton memang beberapa kali Moyes menjadi musuh yang sulit ditaklukkan oleh Man. United di Goodison Park. Hanya saja curriculum vitae sependek itu bisa jadi, belum cukup, hal inilah yang ditakutkan oleh suporter, pendukung, penggemar The Red Devils. Toh Moyes memang belum pernah juara apa pun, beda halnya dengan Ferguson kala menginjakkan kaki di Manchester.

Entah keputusan Ferguson menunjuk Moyes benar atau salah, adalah pertanyaan yang sulit, sukar dijawab, bahkan diterawang oleh Mama Lauren sekali pun. Jika dinilai dari setengah musim pertamanya tentu saja jawabannya mantan pemain Glasgow Celtic itu orang yang salah, Old Trafford yang diagung-agungkan menjadi Teater Mimpi Buruk. Namun, saya bosan bicara tentang itu, apabila Anda mencari jawaban, saya punya untuk sementara ini. Bilang saja, “Sir Alex juga ngga langsung sukses kali!”. Padahal kita tahu kondisi saat itu dan ini jauh berbeda, berdoa saja lawan bicara Anda bukan penggemar sejarah sepak bola.

Ini yang coba saya tulis, saya adalah penggemar Man. United walau harus diakui bukan yang paling fanatik. Bagi saya sepak bola terlalu indah untuk ditujukan pada satu klub saja, apalagi yang berada nun jauh di sana. Bukan berarti saya tidak peduli dengan keterpurukan Manchester Merah itu: terancam tidak bermain di Liga Champions musim depan, pertahanannya yang rapuh, bersaing dengan klub yang biasa berada di papan tengah seperti Newcastle United, Everton, Tottenham Hotspur (dengan Tim Sherwood, yang baru beberapa pertandingan menjadi manajer), dan kalah empat kali di Old Trafford pada setengah musim tidak bisa dibilang pengalaman untuk dikenang. Hanya saja, ada hikmah di balik setiap kejadian. Oke, yang barusan itu klise tapi lihat dari sudut pandang ini.

Anda telah dimanjakan oleh Sir Alex. Tidak pernah keluar dari tiga besar sepanjang perjalanan Premier League, curang menurut teman-teman Anda yang pendukung Liverpool. Boleh dibilang seperti memakai gameshark. Meski ada kalanya di awal musim terombang-ambing tapi dalam hati Anda selalu ada rasa nyaman, dari kepastian bahwa Anda percaya Sir Alex mampu dan tidak akan mengecewakan Anda. Well, tidak ada lagi Sir Alex. Tidak ada lagi jaminan prestasi. Apabila Manchester United adalah Sir Alex, maka yang kita tonton setiap pekan di 2013/2014 ini apa? Ini juga Manchester United, yang lebih asik. Lebih gila. Yang bukan membuat Anda berdecak kagum tapi berteriak kesal. “aduh” “yaelah” “kok gitu dah” “EVRA!”, dan lain-lain. Bila sebelumnya Anda menantikan menit-menit akhir sebagai Fergie Time saya yakin kini Anda menjadi was-was ketika Moyes Time tiba.

Daripada menyesali Anda memilih merah sebagai warna Anda, ada cara lain yang lebih mudah. Jangan dilawan. Enam kemenangan berturut-turut bukanlah apa-apa, dulu, manisnya tiga poin hanya dibicarakan ketika melawan empat-lima tim teratas, dulu, tapi kini berhadapan dengan Hull City sudah bisa membuat Anda olahraga jantung. Anda tidak lagi dihibur secara Hollywood dengan happy ending-nya, selamat datang di festival film indie komunitas film pendek antar mahasiswa, yang di dalamnya ada selipan, “idenya bagus nih tapi …”

Anda dihadapkan pada proses, bukan lagi hasil akhir. Anda belum terlambat, lihat proses Adnan Januzaj sebuah bakat bersinar Eropa yang harus bertranformasi dalam tim terpuruk ini, lihat perjalanan karier Shinji Kagawa yang tampil terbatas di tim terpuruk ini, Wayne Rooney yang berkorban menekan egonya dan lebih banyak bermain jemput bola demi tim terpuruk ini, Robin van Persie yang kini mulai cedera di tim terpuruk ini. Catat semua hal-hal yang tidak buruk itu dan rayakan semua kesuksesan kecilnya, cetak gol melawan Newcastle sama manisnya melawan Liverpool, melewati posisi Spurs sama bagusnya menghadapi Chelsea. Semua yang kecil ini menjadi besar sekarang.

Musim yang mengecewakan? Tidak juga. Setiap pekan menjadi pertandingan besar yang pantas dinantikan. Kesalahan apa lagi yang dibuat Jonny Evans Cs. di belakang, masihkah David Moyes ragu memasangkan Kagawa sebagai playmaker, kapan Wilfried Zaha turun sebagai starter, apa jalan keluar yang bisa membuat semua potensi pemain ini menjadi poin-poin berhadiah tiket Liga Champions, semua lelucon ini begitu buruk hingga akhirnya menjadi lucu, pantas ditertawakan. Musim yang menghadirkan senyum tawa, ya, itu dia.